Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lockdown karena Virus Corona Sebenarnya Seperti Apa?

Kompas.com - 20/03/2020, 15:32 WIB
Wisnubrata

Editor

Sumber

KOMPAS.com - Kata lockdown akhir-akhir ini sering digaungkan, terutama di media sosial. Banyak orang mendesak pemerintah Indonesia untuk menerapkan kebijakan serupa negara-negara lainnya yang juga terdampak pandemi COVID-19.

Namun tahukah Anda, apa sebenarnya lockdown?

Lockdown, secara harafiah artinya dikunci. Jika istilah ini digunakan pada masa pandemi penyakit seperti sekarang, lockdown bisa diartikan sebagai penutupan akses masuk maupun keluar suatu daerah yang terdampak.

Tiongkok sudah mengeluarkan kebijakan lockdown untuk kota Wuhan sejak episentrum pertama kasus itu menunjukan lonjakan kasus secara signifikan.

Sekarang, beberapa negara pun sudah memberlakukan kebijakan lockdown untuk mencegah penyebaran virus corona lebih jauh lagi. Akankah Indonesia mengikutinya?

Negara-negara yang sudah melakukan lockdown

Saat Tiongkok perlahan-lahan sudah mulai bangkit dan kembali ke kesehariannya, beberapa negara di Eropa dan Asia Tenggara justru sedang berjibaku melawan penyebaran virus corona.

Pergerakan virus ini secepat kilat. Membuat banyak negara kewalahan untuk merawat begitu banyak orang yang sakit secara bersamaan.

Di Italia, misalnya. Hanya dalam dua minggu angka positif pasien bisa melonjak begitu drastis. Pada tanggal 22 Februari 2020, menurut grafik yang diterbitkan lembaga kesehatan dunia World Health Organization (WHO), negara itu “hanya” memiliki 11 kasus positif.

Lalu dua minggu kemudian, yaitu tanggal 6 Maret 2020, angkanya melonjak menjadi 3.900-an kasus. Terbaru, hingga 18 Maret 2020 atau dua minggu setelahnya, angka pasien positif COVID-19 di Italia sudah mencapai angka 35.713 orang.

Hal ini membuat pemerintah negara itu memberlakukan lockdown secara nasional untuk menahan laju penyebaran virus.

Baca juga: Italia Lockdown karena Virus Corona, Sungai di Venesia Terlihat Jernih

 

Selain Italia, berikut ini beberapa negara yang saat ini sedang memberlakukan lockdown akibat pandemi COVID-19.

  • Spanyol (jumlah kasus positif per 18 Maret 2020: 13.716)
  • Malaysia (jumlah kasus positif per 18 Maret 2020: 673)
  • Perancis (jumlah kasus positif per 18 Maret 2020: 7.652)
  • Denmark (jumlah kasus positif per 18 Maret 2020: 1.044)
  • Irlandia (jumlah kasus positif per 18 Maret 2020: 292)
  • Belanda (jumlah kasus positif per 18 Maret 2020: 2.051)
  • Belgia (jumlah kasus positif per 18 Maret 2020: 1.468)

Apakah lockdown ampuh untuk menahan laju penyebaran virus corona?

Jika melilhat cerita dari Tiongkok, sepertinya memang ampuh. Toh, lockdown sebenarnya adalah perluasan dari social distancing, dalam skala yang jauh lebih besar dan dampak yang jauh lebih luas.

Menurut catatan Bloomberg, per 19 Maret 2020, Provinsi Hubei melaporkan tidak ada kasus infeksi COVID-19 baru di wilayahnya. Provinsi Hubei merupakan area pusat penyebaran virus corona, dengan Wuhan sebagai ibukotanya.

Sebaliknya, secara nasional, angka infeksi virus corona di Tiongkok masih bertambah sebanyak 34 kasus. Namun, sebagian besarnya merupakan imported case atau berasal dari orang yang baru pulang dari luar negeri.

Lantas, apakah ini satu-satunya jalan? Jawabannya adalah belum tentu. Negara seperti Singapura dan Korea Selatan sejauh ini tidak memberlakukan lockdown dan mereka tetap mampu menahan laju persebaran dengan tingkat kematian akibat COVID-19 yang rendah.

Namun, tentu kedua negara tadi juga melakukan pencegahan tersendiri. Korea Selatan misalnya, menjadi negara dengan jumlah pemeriksaan COVID-19 paling banyak per kapita di dunia. Negara ini sudah melakukan tes virus corona pada kurang lebih 290.000 orang warganya.

Baca juga: Cerita Survivor Corona Asal Korea, Sempat Pede Tak Bakal Terinfeksi

Cara ini rupanya efektif untuk menekan angka penyebaran. Sebab, banyak kasus bisa diketahui sejak dini melalui langkah ini. Sehingga, pasien positif tersebut tidak sempat menyebarkannya ke orang lain.

Dari data yang dilansir Reuters, jumlah pasien baru positif corona di Korea Selatan per 18 Maret 2020 turun drastis menjadi 93 orang per hari, setelah dua minggu sebelumnya menyentuh angka 909 infeksi baru per hari.

Jadi, jika ditanya manakah yang paling efektif, rasanya itu semua tergantung dari keseriusan langkah pencegahan itu sendiri, apapun metodenya.

Dampak lockdown untuk penduduk dari sisi kesehatan

Lockdown ampuh menahan laju persebaran virus. Sebab dengan lockdown, masyarakat mau tidak mau harus berdiam diri di rumah.

Toko-toko tutup, kantor, sekolah, hingga pusat ibadah pun sama. Kebijakan ini membuat virus tidak bisa dengan mudah menempel dari satu orang ke orang lainnya.

Namun di balik kebijakan tersebut, juga muncul berbagai masalah baru, mulai dari sisi ekonomi hingga kesehatan.

Dilansir dari NPR, Dr. Laura Hawryluck, profesor bidang kedokteran perawatan kritis dari University of Toronto, mengatakan bahwa banyak warga di Wuhan yang sebenarnya tidak sakit secara fisik, mengalami gangguan kecemasan yang parah, perasaan terisolasi dan stres sejak kebijakan lockdown dijalankan.

Laura menambahkan bahwa stres yang dirasakan merupakan akumulasi dari rasa takut tertular penyakit, rasa takut menularkan ke orang terdekat, dan kecemasan soal penghasilan yang hilang tiba-tiba, karena mereka sudah tidak lagi bisa bekerja.

Baca juga: Mengatasi Stres di Tengah Ancaman Virus Corona

Tanpa lockdown pun, pandemi virus corona sudah memicu masalah mental yang cukup serius.

Penelitan lain yang dilakukan di Tiongkok menyebutkan bahwa penyebaran penyakit ini memicu naiknya angka berbagai masalah mental, terutama depresi, gangguan kecemasan, dan gangguan panik.

Penelitian ini dilakukan pada 52.730 orang responden dari 36 Provinsi di Tiongkok. Selain itu, penelitan juga mengikutsertakan responden yang berasal dari Macau, Taiwan, dan Hongkong.

Dari total jumlah tersebut, responden yang berusia di bawah 18 tahun memiliki tingkat stres yang paling rendah.

Para ahli mengemukakan, hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, tingkat penularan dan kematian akibat COVID-19 untuk rentang usia tersebut tergolong rendah. Kedua, minimnya paparan terhadap virus akibat kebijakan karantina dari negara.

Sementara itu, tingkat stres paling tinggi, tercatat pada responden berusia 18-30 tahun serta yang berusia di atas 60 tahun.

Tahukah apa faktor utama orang berusia 18-30 tahun memiliki tingkat stres yang tinggi terkait corona?

Menurut penelitan tersebut, hal ini disebabkan karena mereka secara mudah mendapatkan informasi mengenai penyakit ini dari media sosial, yang sifatnya mudah memicu stres.

Sementara itu pada orang berusia di atas 60 tahun, tingginya tingkat stres disebabkan oleh statistik penyakit yang menyebutkan bahwa lansia lah yang paling rentan tertular dan lebih berisiko mengalami keparahan kondisi, apabila tertular.

Baca juga: Ikuti Protokol Penanganan Corona Ini, Jangan Langsung ke RS Rujukan

Selain dampak secara mental, kebijakan lockdown juga berdampak pada kualitas pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan setempat.

Di Tiongkok, misalnya. Saat Provinsi Hubei mengalami lockdown, pemerintah setempat mengirim ribuan tenaga medis ke area tersebut untuk bisa menangani para pasien COVID-19 sebelum virus menyebar lebih jauh.

Akibatnya, tenaga medis di daerah lain berkurang, dan menyebabkan perawatan di fasilitas kesehatan tidak bisa berjalan seefektif biasanya. Padahal kita tahu, COVID-19 bukanlah satu-satunya penyakit yang saat ini ada di dunia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com