Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Keluarga Lakukan Perjalanan Lintas Negara untuk Cegah COVID-19

Kompas.com - 25/03/2020, 21:50 WIB
Gading Perkasa,
Wisnubrata

Tim Redaksi

Sumber Time

KOMPAS.com - Mary Wong meninggalkan kampung halamannya di Hong Kong pada 20 Februari bersama putrinya yang berusia satu tahun dan suaminya.

Situasi di sana tampak suram, kota ini memiliki 70 kasus COVID-19 dan dua kematian, dan para pejabat menolak saran untuk sepenuhnya menutup perbatasan dengan daratan Cina.

Agar tetap aman, Wong dan keluarganya memutuskan terbang menuju Philadelphia, AS, tempat suaminya berasal.

Belum ada kasus di sana, dan hanya 15 kasus di AS. Mereka berencana tinggal selama dua bulan untuk menghindari wabah terburuk COVID-19 yang semakin mengancam Hong Kong.

Kurang dari sebulan kemudian, dia kembali ke Hong Kong. Ia memesan tiket pulang pada 13 Maret, hari yang sama ketika Presiden AS Donald Trump mengumumkan keadaan darurat nasional di Negeri Paman Sam.

Saat itu, kasus pertama COVID-19 dikonfirmasi di Philadelphia, ratusan dilaporkan di negara bagian New York, dan kasus-kasus di AS telah melonjak hingga lebih dari 2.000 kasus.

"Itu sebenarnya keputusan yang jelas untuk kembali," kata Wong.

"Hong Kong tampak lebih aman. Bahkan di pinggiran kota, kita tidak tahu berapa banyak orang yang pergi ke New York atau negara bagian lain, dan kembali ke Philadelphia."

Keluarga Wong adalah salah satu dari beberapa keluarga yang melarikan diri dari Asia ketika virus corona menyebar ke seluruh Cina. Lalu tiba-tiba usaha mereka pergi ribuan kilometer jauhnya itu menjadi lebih berbahaya.

Perjalanan pergi dan pulang Wong menunjukkan cepatnya penyebaran global virus yang menyebabkan COVID-19, virus yang kini telah menginfeksi lebih dari 380.000 orang di hampir setiap penjuru dunia.

Wong berhasil kembali ke Hong Kong tiga hari sebelum pemerintah memberlakukan karantina wajib 14 hari untuk semua pendatang dari luar negeri --meskipun Wong tinggal di rumah selama dua minggu sebagai langkah pencegahan.

Pihak berwenang khawatir orang yang kembali dari AS dan Eropa --termasuk siswa yang belajar di luar negeri-- adalah penyebab utama penularan baru.

Hong Kong berhasil menghilangkan sebagian besar gelombang epidemi pertama. Tetapi ada hampir 400 kasus yang dikonfirmasi di wilayah semi-otonom Cina pada hari Selasa, lebih dari dua kali lipat dibandingkan minggu sebelumnya.

Mayoritas kasus virus corona dalam seminggu terakhir dibawa orang-orang yang melakukan perjalanan ke tempat-tempat seperti Eropa dan AS.

Bukan hanya Hong Kong. Kementerian Kesehatan Singapura mengatakan hampir 80 persen dari kasus baru virus corona selama tiga hari terakhir dibawa dari para turis. Taiwan juga melihat tren yang sama.

Di daratan Cina, tempat virus corona pertama kali dilaporkan, kasus impor tampak telah melampaui transmisi lokal selama hampir seminggu.

Provinsi Hubei, tempat di mana Wuhan --kota yang terdampak parah-- berada, mencatat tidak ada infeksi selama lima hari berturut-turut pekan lalu.

Fase baru

Pada awal wabah, negara-negara di seluruh dunia dengan cepat menerapkan larangan bagi turis dari Cina dan negara-negara Asia lainnya.

Tetapi lebih dari tiga bulan kemudian, Eropa dan AS telah menjadi pusat wabah baru, dengan ribuan kasus COVID-19 setiap hari.

Itu artinya, para turis dari kawasan tersebut berisiko memicu wabah baru di sejumlah bagian Asia yang mayoritas telah mengendalikan virus.

"Kita sedang bergerak ke fase baru," kata Ben Cowling, profesor epidemiologi penyakit menular di University of Hong Kong, kepada TIME.

"Dalam waktu satu atau dua minggu, kita bisa melihat wabah di mana kita tidak benar-benar tahu dari mana orang mendapatkan virus."

"Mungkin seseorang yang datang dengan infeksi tidak diidentifikasi, mereka menyebarkannya ke anggota keluarga dan komunitas. Itu akan terjadi di Hong Kong, dan kawasan lain di Asia," kata Cowling.

Di Singapura, penutupan sekolah yang baru saja berakhir bertepatan dengan lonjakan kasus virus corona di Eropa dan AS, menurut Hsu Li Yang, associate professor dan pakar penyakit menular di National University of Singapore.

"Banyak anak-anak dan orang tua yang bepergian ke luar negeri semuanya sudah kembali sekarang. Jadi kita memprediksi jumlah kasus yang lebih tinggi untuk beberapa minggu ke depan," kata Hsu.

Semua orang yang datang ke Hong Kong kini harus melakukan karantina selama dua minggu, dan mulai hari Rabu mereka yang bukan penduduk Hong Kong dilarang memasuki atau transit di wilayah tersebut.

Di Cina, kebijakannya berbeda-beda di setiap kota. Di Shanghai, traveler dari negara-negara termasuk AS, Italia, Prancis, dan Spanyol harus menjalani karantina 14 hari.

Sementara semua orang yang datang ke Beijing akan dikirim ke pusat karantina. Taiwan dan Singapura telah melarang semua pengunjung yang datang untuk jangka pendek.

Sama seperti Wong, Ran Elfassy juga melakukan perjalanan ke AS dengan putrinya yang berusia 8 tahun saat kasus COVID-19 meningkat di Hong Kong.

Ia kembali ke kota itu pada 10 Maret, kurang dari seminggu sebelum pemerintah setempat memberlakukan perintah karantina 14 hari wajib untuk semua pendatang.

Pria berusia 48 tahun yang memiliki perusahaan konsultan manajemen itu membawa putrinya untuk tinggal bersama keluarga di Savannah, Georgia, AS, pada awal Februari.

Keputusan itu, katanya, bukan karena takut terjangkit penyakit, tetapi keinginannya untuk memperoleh rasa normal bagi mereka berdua.

"Saya dan istri saya sama-sama mencari berita dan kami menyadari akan ada banyak kepanikan," kata Elfassy.

"Kami mengantisipasi orang-orang harus lebih banyak tinggal di dalam rumah, jadi kami pikir akan lebih baik pergi ke tempat di mana ada urgensi yang lebih rendah, gerakannya tidak terlalu terbatas."

Elfassy dapat bekerja dari jarak jauh, dan putrinya tidak kesulitan menyelesaikan tugas belajar online dari AS. Sedangkan istrinya tetap tinggal di Hong Kong.

Selama beberapa minggu pertama di Savannah, virus corona belum muncul di berita lokal.

"Itu sebabnya kami pergi," katanya.

Sekitar satu setengah bulan mereka menetap di Savannah sebelum kasus pertama dikonfirmasi di Atlanta.

"Saya mendengar orang-orang mulai membeli makanan dan tisu toilet, dan kemudian ayah saya memberi tahu saya dia pergi ke Walmart, semua roti dan susu hilang," katanya.

Elfassy memutuskan sudah waktunya mereka pergi, naik penerbangan pulang yang direncanakan untuk dia dan putrinya.

"Kami bisa merasakan kepanikan mulai terjadi di Savannah. Tidak dapat dimungkiri virus ini pada dasarnya telah mendarat di AS dan mulai menjadi masalah," katanya.

"Itu akan sama di kedua tempat, jadi kita mungkin lebih baik berada di Hong Kong."

Adapun wabah yang awalnya berasal dari daratan Cina itu telah menjadi pandemi global.

Jumlah kasus yang dilaporkan di luar Cina sekarang jauh melampaui negara itu, di mana pada hari Senin, kasus di Cina hanya mewakili sekitar seperempat kasus di seluruh dunia, menurut John Hopkins University.

Korban tewas di Italia, yang memiliki hampir 64.000 kasus, kini telah melampaui kematian di Cina.

AS yang memiliki sekitar 4.400 kasus minggu lalu, sekarang melaporkan sedikitnya 46.400 kasus, menjadikannya negara dengan jumlah infeksi tertinggi ketiga.

Para ahli khawatir virus itu dapat menyerang seluruh penjuru dunia untuk masa yang akan datang.

"Virus ini akan memantul sekitar satu atau dua tahun ke depan. Akan ada tempat berbeda yang lebih terpengaruh pada waktu berbeda," kata Cowling.

Dia menambahkan, bagaimanapun, karena langkah yang tepat, Hong Kong dan Singapura tampak tidak berisiko untuk wabah berskala besar seperti yang terjadi oleh AS dan beberapa negara Eropa.

Tetapi dia khawatir, Cina dapat kembali dihantam keras oleh virus corona di tengah upaya mereka untuk kembali normal.

Cina, yang telah melaporkan nol kasus lokal selama berhari-hari, kini melonggarkan pembatasan.

Di Beijing, lalu lintas telah kembali normal. Sementara di Shanghai, para bartender terlihat memadukan koktail untuk pengunjung pesta di klub malam yang sibuk.

Pada hari Selasa, para pejabat Cina mengumumkan mereka mencabut status lockdown untuk sebagian besar provinsi Hubei dan mengatakan mereka akan melakukan hal serupa di Wuhan pada 8 April.

Namun Cowling tidak merasa yakin. "Saya tidak berpikir Cina akan memiliki periode ketenangan yang lama sebelum gelombang kedua dimulai."

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com