Seumur hidup saya, saat ini adalah panik publik yang tak bisa dibandingkan dengan apa pun. Dalam sekejap, semua berubah 180 derajat.
Orang yang tadinya masa bodoh makan dan minum semaunya, sekarang ribut mencari imunitas instan.
Seakan-akan kekebalan itu bisa dibeli dengan harga murah – sebutlah berupa secangkir empon-empon atau segenggam suplemen.
Suatu teknik menenangkan diri yang membuka peluang ekonomi.
Seperti memakai masker bedah, tanpa paham cara pakai yang benar dan cara membuang yang beretika.
Dalam waktu sekejap, awam pun harus mengikuti les tindakan aseptik dan antiseptik ala kamar bedah.
Video lawas saya mendadak viral, mengajar orang berjemur di bawah matahari selama bertahun-tahun, baru sekarang secara nasional membuahkan hasil. Setelah virusnya marah.
Itu pun masih harus meluruskan banyak hal. Ada yang berjemur dengan pakaian lengkap, seakan-akan ultra violet B nya bisa menembus macam sinar X, ada yang masih dioles tabir surya – sayang habis buang jutaan rupiah demi perawatan kulit.
Padahal, tengkuk hingga punggung adalah lahan terbagus dengan meter persegi terbanyak untuk terkena cahaya matahari langsung, tanpa perlu menambah bintik hitam di wajah.
Baca juga: Ayo Jauhi Gula di Masa Pandemi Virus Corona, Mengapa?
Saya juga punya slogan yang selalu diulang dan terulang secara otomatis setiap kali mengajar dan praktek tentang perubahan perilaku manusia, yang dimulai dengan kata ‘terpaksa’.
Akibat dipaksa. Akhirnya bisa, lalu biasa dan jadi budaya. Terpaksa hidup bersih dengan cuci tangan pakai sabun, terpaksa masak sendiri karena parno dengan yang masak di luar sana dan dipaksa harus tinggal di rumah untuk memutus penyebaran virusnya. Bisa sehari, walaupun pakai ngomel dan marah.
Orang yang dinikahi dengan semua mimpi ternyata musuh berdebat paling hebat, akibat lebih dari 12 jam bersama dalam hidup nyata.
Ada lansia yang tak tahan dengan berkumpulnya anak mantu dan cucu serumah dalam 24 jam, sampai ketika ia mulai batuk-batuk senewen malah minta diisolasi di Rumah Sakit, ketimbang mendengar berbagai syahadat teori anaknya.
Baca juga: Pahami Perbedaan Social Distancing, Isolasi Diri, dan Karantina