Hal-hal yang bisa dilakukan berulang kali rupanya menciptakan normalitas baru: kebiasaan.
Kebiasaan bisa menjadi hal yang baik, bisa juga tidak baik. Kebiasaan tidak mandi seharian atau pakai daster karena tidak ngantor, kebiasaan lupa diri dengan gawai – sebagai alasan ‘bekerja dari rumah’, physical distancing akhirnya menjadi emotional distancing yang mengubah hidup menjadi amat individualis.
Anehnya, virus ini juga mengajarkan soal kesetimbangan hidup rupanya. Seperti untuk memperoleh itu semua, segala sesuatu harus masuk dalam guncangan dulu – disrupsi – demi kesetimbangan yang baru.
Di tengah individualisme orang-orang menyelamatkan hidupnya masing-masing, muncul benih-benih kesetiakawanan.
Walaupun masih sebatas kebutuhan primer, tapi lumayan menyejukkan jiwa mendengar kisah-kisah kedermawanan orang.
Masa berbagi yang mampu menjelaskan apa yang dianggap baik dan benar bagi orang yang memberi.
Jika sang pemberi punya kepercayaan tinggi akan vitamin dan suplemen, maka dalam tiap kotak akan disisipkan kemasan tablet dan pil.
Sementara jika dalam hati kecilnya masih terpaku pada ajaran lawas 4 sehat 5 sempurna, maka kaleng dan kotak susu menjadi jimat penenang seakan-akan memberikan perlindungan ekstra di balik bungkusan ayam goreng.
Jadi, memang begitulah literasi gizi kita. Dan semua perilaku yang diam-diam dijalankan, tanpa ada rujukan. Hanya sebatas ‘katanya’.
Baca juga: 5 Hal Baik di Tengah Pandemi Virus Corona
Sampai untuk menegaskan paradigma baru untuk berjemur pada jam 10 pagi saja, saya harus berjuang menjelaskan dengan sederet jurnal dan studi berbasis bukti, sebab orang sudah terlanjur punya kepercayaan ‘katanya’ berjemur itu jam 7 pagi.
Wabah ini memang mengubah marwah manusia. Dunia terguncang saat wadah air suci kering di semua gereja dan kesunyian menyayat di sekitar Ka’bah.
Di saat yang sama pula semua hiburan hingar bingar mereda tanpa suara. Tapi, di tengah hening itu langit biru dan udara sejuk mulai menyusup, bahkan lumba-lumba menampakkan diri di sungai saat manusia tidak lagi mencemari.
Apabila kita sibuk sebagai cendekia mencari profilaksis berupa vaksin dan ramuan ajaib, mungkin sudah waktunya otak yang cerdas itu diheningkan dahulu.
Melihat ke semua keajaiban yang saat ini sedang menguakkan dirinya. Ketika justru manusia berhenti dan tahu diri.
Merefleksi untuk apa hidup itu, saat semuanya dipertaruhkan demi ekonomi, politik atau sekadar ‘nama baik’.
Momen itu barangkali memanggil kita pulang ke rumah sendiri, berhenti bertengkar dengan pasangan, dan tidak selalu merasa benar di hadapan anak - sebab bisa jadi mereka semua akan hilang dalam bilangan hari atau bulan.
Virus corona ini memang luar biasa – karena mampu mengubah manusia dengan satu kata ancaman: binasa.
Baca juga: Di Tengah Wabah Corona, yang Kita Butuhkan adalah Ketenangan...
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.