Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

“Quarantine Shaming” Aksi Mempermalukan Orang Saat Wabah Covid-19

Kompas.com - 30/03/2020, 11:27 WIB
Lusia Kus Anna

Editor

Sumber BBC

KOMPAS.com- Orang yang tetap beraktivitas keluar rumah selama kebijakan pembatasan sosial atau nekat memakai sarung tangan lateks untuk berbelanja kini mendapat kritikan sebagai orang yang egois, arogan, atau membahayakan diri dan lingkungan.

Kritikan itu diistilahkan dengan quarantine shaming.

Kritikan terhadap orang yang tidak patuh pada aturan untuk tetap tinggal di rumah juga beredar di media sosial. Bahkan, belakangan ini ada tagar #COVIDIOTS yang ditujukan pada mereka yang masih membuat acara kumpul-kumpul.

Dalam beberapa hari terakhir juga viral video dua orang memakai hazmat suit (alat pelindung diri) yang biasa dipakai tenaga medis, sedang berbelanja ke supermarket. Kedua orang itu mungkin memakai pakaian tersebut untuk melindungi diri dari virus.

Tak ayal, cercaan pun ditujukan kepada kedua orang yang dianggap egois, mengingat saat ini para tenaga medis di seluruh daerah sedang mengeluhkan kekurangan APD.

Baca juga: Risiko Tertular Tinggi, Tenaga Medis Tangani PDP Covid-19 dengan Jas Hujan hingga Baju Operasi

Psikolog sosial mengatakan, upaya mempermalukan orang lain seperti itu bisa memainkan peran penting untuk mendorong pembentukan norma-norma sosial, terutama ketika norma dengan cepat berubah akibat wabah virus corona.

Kendati begitu, menjaga jarak sosial juga dianggap sulit, terutama ketika ada saran yang membingungkan tentang aturan kapan dan bagaimana orang boleh ke luar rumah.

Saran dari otoritas juga seringkali membingungkan. Di satu sisi kita diminta untuk tetap tinggal di rumah. Tapi di sisi lain, kantor tidak meliburkan karyawannya . Kita diminta untuk menjaga jarak sosial, tetapi berdesak-desakan di kendaraan umum.

Baca juga: Viral Keluarga Bongkar Plastik Jenazah Pasien Berstatus PDP di Kolaka, Ini Fakta Lengkapnya

Apakah mempermalukan orang lain efektif?

Mempermalukan orang alias public shaming lain bisa rumit dan kontroversial. Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa orang yang menjadi korban dipermalukan online bahkan sampai kehilangan pekerjaan atau menerima ancaman kematian.

Walau belum ada laporan tentang upaya mempermalukan yang ekstrem terkait wabah corona, tetapi sebagian orang merasa mereka menjadi target secara tidak adil. Sebagian orang itu akhirnya minta maaf dan menghapus postingan mereka.

Pengendara ojek daring melintasi jalan MH Thamrin, Jakarta, Minggu (29/3/2020). Pemprov DKI Jakarta melakukan pembatasan aktivitas di Ibu Kota dengan memperpanjang masa tanggap darurat COVID-19 hingga 19 April 2020 sehubungan dengan meluasnya pandemi COVID-19. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/pras.ANTARA FOTO/M RISYAL HIDAYAT Pengendara ojek daring melintasi jalan MH Thamrin, Jakarta, Minggu (29/3/2020). Pemprov DKI Jakarta melakukan pembatasan aktivitas di Ibu Kota dengan memperpanjang masa tanggap darurat COVID-19 hingga 19 April 2020 sehubungan dengan meluasnya pandemi COVID-19. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/pras.

Kendati begitu, para pakar menilai dalam wabah seperti sekarang, upaya mempermalukan itu bisa jadi cara efektif untuk membuat norma sosial yang baru.

“Shaming sebaiknya tidak dipakai untuk masalah yang bukan jadi perhatian umum. Namun, virus corona adalah masalah yang menimpa kita semua, sehingga semua orang diminta berkorban,” kata profesor studi lingkungan Jennifer Jacquet.

Baca juga: Tenaga Medis Keluhkan APD Langka, Jokowi: 180 Negara Berebutan

Menurutnya, taktik mempermalukan online ini seharusnya efektif untuk membuat orang segan melakukan pelanggaran aturan pembatasan jarak atau menimbun barang di saat sulit.

“Saya berharap upaya mempermalukan ini bisa menjadi alat yang bermanfaat untuk kepentingan sosial,” kata Jacque yang pernah menulis buku tentang penggunaan aksi mempermalukan orang sebagai cara untuk mendorong kerjasama.

Ahli psikologi sosial di University of Montreal, Daniel Sznycer, menilai mempermalukan orang lain pada dasarnya merusak reputasi seseorang dan norma sosial.

Orang bisa merasa, lalu malu melakukannya dan menghentikan atau ikut patuh. Masalahnya, hal itu bisa jadi hanya akan dilakukan di depan orang, tetapi akan diulangi ketika tidak ada orang lain yang melihat.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber BBC
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com