Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sebagian Pasien Covid-19 Juga Mengalami Gangguan Saraf

Kompas.com - 03/04/2020, 13:26 WIB
Nabilla Tashandra,
Lusia Kus Anna

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Covid-19 merupakan penyakit baru yang belum dipahami sepenuhnya oleh para ahli. Selain cara penularan dan pengobatan, kini para ilmuwan juga meneliti dampak kerusakan virus ini pada tubuh.

Sejumlah ahli saraf di dunia menyebutkan bahwa sebagian pasien Covid-19 juga mengalami perkembangan kerusakan pada bagian otak.

Sindrom neurologis ini muncul selain kondisi-kondisi tidak biasa lainnya pada pasien Covid-19, seperti gangguan indera penciuman dan perasa.

Pada awal Maret, seorang pria berusia 74 tahun datang ke ruang gawat darurat di Boca Raton, Florida. Ia memiliki gejala batuk dan demam, tetapi sinar-X mengesampingkan pneumonia dan ia pun diminta pulang.

Keesokan harinya, demam yang dialami pria tersebut melonjak dan keluarga membawa dia kembali ke ruang gawat darurat. Dia kehabisan napas serta kehilangan kemampuan bicara.

Pasien yang juga menderita penyakit paru-paru kronis dan parkinson ini kemudian menggapai-gapaikan lengan dan kakinya dengan gerakan tersentak-sentak, dan tampak mengalami kejang.

Baca juga: Cerita Pasien Covid-19 Pertama di Bekasi Berjuang 20 Hari hingga Sembuh

Dokter mencurigai dia menderita Covid-19. Dugaan itu terbukti benar setelah dilakukan pengujian terhadap pasien.

Pada Selasa, dokter-dokter di Detroit melaporkan kasus lain. Pasien adalah seorang perempuan pekerja maskapai berusia akhir 50-an tahun yang menderita Covid-19.

Pasien tersebut bingung dan mengeluh sakit kepala. Dia bisa memberi tahu dokter namanya, tetapi dari waktu ke waktu menjadi kurang responsif. Pemindaian otak menunjukkan adanya pembengkakan dan peradangan yang tidak normal di beberapa area.

Dokter mendiagnosis kondisi tersebut sebagai ensefalopati nekrotikans akut, komplikasi influenza, dan infeksi virus lainnya.

“Pola keterlibatan dan cara perkembangannya dalam beberapa hari konsisten dengan peradangan virus di otak," kata ahli saraf dari Henry Ford Health System, Dr Elissa Fory, seperti dilansir dari NY Times.

Stroke dan kejang

Pengamatan serupa ditemukan oleh dokter di Italia dan bagian lain dunia, tentang pasien Covid-19 yang mengalami stroke, kejang, gejala seperti ensefalitis dan pembekuan darah, serta kesemutan atau mati rasa ekstrem yang disebut acroparesthesia.

Petugas kesehatan memeriksa alat kesehatan di ruang IGD Rumah Sakit Darurat Penanganan COVID-19 Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta, Senin (23/3/2020). Rumah Sakit Darurat Penanganan COVID-19 Wisma Atlet Kemayoran itu siap digunakan untuk menangani 3.000 pasien. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/Pool/aww.ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A Petugas kesehatan memeriksa alat kesehatan di ruang IGD Rumah Sakit Darurat Penanganan COVID-19 Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta, Senin (23/3/2020). Rumah Sakit Darurat Penanganan COVID-19 Wisma Atlet Kemayoran itu siap digunakan untuk menangani 3.000 pasien. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/Pool/aww.

Menurut Dr Alessandro Padovani dari University of Brescia Italia, dalam beberapa kasus, pasien bahkan mengigau sebelum mengalami demam atau penyakit pernapasan.

Adapun rumah sakit tempat Padovani berpraktik membuka unit NeuroCovid terpisah untuk merawat pasien dengan kondisi neurologis.

Para pasien yang datang dengan ensefalopati bingung dan lesu, serta mungkin tampak bingung, menunjukkan perilaku aneh atau menatap ke langit.

Baca juga: Ditengok Anaknya dari Jakarta, Pasien Stroke Positif Covid-19 di Ciamis

Mereka mungkin mengalami kejang yang memerlukan perawatan medis segera dan para ahli memperingatkan petugas kesehatan untuk memeriksa bahwa mereka mungkin menderita Covid-19 untuk segera mengambil tindakan penanganan yang dibutuhkan.

Banyak yang masih belum diketahui tentang gejala neurologis ini. Namun, para ahli tengah mempelajarinya. Ahli saraf dari Fakultas Kedokteran Universitas Pittsburgh, Dr Sherry H-Y. Chou, memimpin tim penyelidik untuk Neurocritical Care Society.

Para ahli telah menekankan bahwa sebagian besar pasien Covid-19 tampaknya normal secara neurologis.

Para spesialis neurologis juga mengatakan bahwa masih terlalu dini untuk membuat pernyataan definitif atau mengidentifikasi mekanisme spesifik di mana virus corona mungkin memengaruhi sistem saraf.

Meskipun, dalam satu makalah baru-baru ini, para ilmuwan China mencatat bahwa ada beberapa bukti bahwa virus corona bisa saja tidak terbatas pada saluran pernapasan dan menyerang sistem saraf pusat, dan penulis berspekulasi bahwa ini mungkin berpotensi menyebabkan kegagalan pernapasan akut pada pasien Covid-19.

Baca juga: Sudah Sembuh, 10 Persen Pasien Covid-19 di Wuhan Kembali Terinfeksi

Di antara laporan pertama tentang gejala tersebut dilakukan oleh seorang ahli saraf di Wuhan, China, tempat wabah bermula.

Sejak laporan pada Februari itu diluncurkan, para spesialis mengamati gejala serupa di Jerman, Perancis, Austria, Italia, Belanda, hingga Amerika Serikat dan dilakukan pada pasien di bawah usia 60 tahun.

Beberapa pasien dirawat karena adanya perubahan kondisi mental dan pada akhirnya dinyatakan positif Covid-19 meskipun tidak memiliki gejala klasik seperti demam atau batuk.

Empat pasien lansia yang datang ke Rumah Sakit Danbury di Connecticut dengan ensefalopati juga akhirnya dinyatakan positif Covid-19, meskipun mereka tidak memiliki gejala lain.

Pasien yang menderita ensefalopati dan gejala bingung atau tidak koheren cenderung mengalami kejang, dan harus menerima pengobatan sesegera mungkin.

Namun, menurut ahli saraf di N.Y.U. Langone Health, Dr. Jennifer Frontera, kejang dapat bermanifestasi dengan cara yang lebih halus, tidak selalu ditunjukkan dengan perilaku yang dramatis seperti digambarkan dalam film atau acara televisi.

"Kejang tidak selalu membuat orang jatuh dan bergetar di tanah," kata Frontera.

"Beberapa penderita bisa saja seperti membelok, tidak memperhatikan, membuat gerakan yang tidak bertujuan berulang, atau hanya mengalami perubahan status mental ketika tidak sendirian."

Tetapi bahkan jika kejang tidak teramati, orang yang sakit harus waspada terhadap potensi gejala mental.

Frontera mengatakan, ketika merasa demam dan sakit kita memang merasa tubuh kita tidak nyaman, namun kita harus tetap bisa berinteraksi secara normal.

"Kita harus tetap dalam keadaan bisa menjawab rangkaian pertanyaan dan berkomunikasi secara normal," ungkapnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com