Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 08/04/2020, 09:57 WIB
Nabilla Tashandra,
Lusia Kus Anna

Tim Redaksi

KOMPAS.com -Pikiran dan tubuh kita memiliki hubungan sangat erat, dan seringkali gejala fisik bisa menjadi tanda dari lingkungan emosional kita yang kurang baik.

Tubuh kita seringkali menunjukkan apa yang sedang diwaspadai oleh alam bawah sadar kita. Namun, pikiran kognitif kita mungkin tidak menyadarinya.

Hal ini bisa juga dialami oleh orang-orang yang menjalani hubungan tidak sehat. Mereka bisa saja mengalami rasa sakit, cemas serta gangguan memori dan bicara.

Terapis berlisensi, Shannon Thomas menjelaskan kepada Insider bahwa banyak kliennya yang berada dalam hubungan tidak sehat, seperti mengalami kekerasa fisik atau verbal dari pasangannya, berakhir merasakan sejumlah gejala fisik namun secara medis tidak ada penjelasan yang jelas.

"Rentang spektrumnya luas, namun setiap orang memiliki manifestasi kekerasan fisik," ungkapnya.

Seringkali seseorang bertahan dengan pasangannya yang kasar karena sesuatu yang disebut "trauma bonding".

Secara singkat kondisi ini terjadi ketika pihak yang melakukan kekerasan memberikan stimulasi pada pasangannya berupa hukuman, namun sesekali juga memberikan kekuatan serta kebaikan ketika pasangannya itu mengikuti apa yang mereka mau.

Baca juga: Apa Saja Ciri Orangtua Toksik

Situasi itu membuat tubuh seseorang berada pada keadaan tak menentu, dengan kadar hormon kortisol (hormon stres) dan adrenalin tinggi, serta dopamin (hormon senang) ketika afeksi diberikan sebagai "hadiah".

"Ada level adrenalin dan kortisol tinggi yang ada dalam tubuh. Dan ketika kamu mendapatkan kombinasi aliran zat kimia itu dalam tubuh, tubuh akan bereaksi dan timbullah gejala fisik itu," ungkap Thomas.

Lalu, apa saja gejala fisik yang biasa dirasakan?

1. Kelelahan

Salah satu gejala hubungan tidak sehat adalah tubuh sering merasa kelelahan dan ini biasanya jadi tujuan dari si pelaku. Kondisi kelelahan korban cenderung membuat mereka tidak punya daya untuk melawan, sehingga akan lebih mudah dikontrol.

"Ketika korban 'diangkat', rasanya akan sangat menyenangkan, namun pada situasi lainnya korban bisa saja mendapat perlakuan yang berbanding terbalik. Itu bisa membuat kerusakan pada tubuh," kata Thomas.

"Perasaan naik-turun itulah yang membuat para korban lelah."

Dari wajah, korban bisa saja terlihat memiliki kantong mata yang sangat berat pada satu waktu, namun pada waktu lainnya terlihat sangat segar.

/IlustrasiShutterstock /Ilustrasi

2. Masalah autoimun

Situasi beracun ini bisa membuat seseorang mengalami masalah autoimun, seperti peradangan, sakit badan dan masalah pada kulit.

Namun dalam 95 persen kasus, kata Thomas, ketika orang-orang dengan keluhan tersebut datang ke dokter, mereka biasanya pulang tanpa diagnosa penyakit apapun.

Hal itu terdengar positif, namun justru membuat stres pasien. Sebab, mereka merasakan gejala tersebut secara nyata namun tidak ada penjelasan medisnya.

"Maka kita harus melihat lingkungan tempat mereka berada dan hubungan yang mereka jalani, bisa saja itu menciptakan gejala kecemasan ekstrem," kata Thomas.

Kondisi ini juga berperan dalam siklus kekerasan dan gaslighting (penyiksaan psikologis). Jika pasangan mereka secara rutin menyampaikan keluhannya, mereka akan disebut mencari perhatian.

"Ini adalah lingkungan beracun yang tersembunyi. Aku selalu mengibaratkannya seperti cairan racun di dalam air. Kamu tidak akan melihatnya sampai kamu merasakan sakit," ungkap Thomas.

IlustrasiShutterstock Ilustrasi

3. Masalah pencernaan dan perubahan hormon

Orang-orang yang hubungan bermasalah biasanya juga punya masalah dengan makanan tertentu, meskipun sebelumnya mereka bisa makan apa saja.

Menurut Thomas, hal ini terjadi karena stres, serta hormon kortisol dan adrenalin tertahan di dalam tubuh.

Baca juga: Benarkah Hormon Tak Seimbang Sebabkan Susah Hamil?

Kecemasan berevolusi pada manusia untuk membantu kita dengan respons melawan atau lari, hal ini terjadi dengan adanya lonjakan hormon. Tetapi, secara teori, jika hormon-hormon ini tidak punya tempat untuk pergi, tubuh bisa saja mulai menyerang diri sendiri.

Bahkan setelah hubungan berakhir, korban mungkin butuh waktu untuk memulihkan kembali pikiran dan tubuhnya.

"Hubungannya bisa berakhir, namun para korban perlu mengembalikan daya tahan mereka dan mendapatkan kembali kesehatan fisiknya," kata Thomas.

Ilustrasi.SHUTTERSTOCK Ilustrasi.

4. Gangguan memori dan bicara

Seseorang yang menjadi korban dalam hubungan kekerasan biasanya juga memiliki gangguan memori dan bicara, misalnya kesulitan membaca buku, memproses informasi baru atau menyimpan memori tertentu.

"Ketika seseorang menjadi korban hubungan kekerasan, fungsi-fungsi tersebut sangat sulit dijalankan," katanya.

Penyebabnya, pikiran mencoba memproses apa yang terjadi, mengapa pasangan mereka kejam dan manipulatif, kemudian berusaha keras mencari solusi.

Masalahnya, pihak pelaku tidak sama-sama mencari solusi. Korban berpikir semua orang menginginkan sebuah harmoni, namun pelaku psikologis tidak menginginkan itu.

Ia menambahkan, bagian pemulihan dari korban adalah kembali menemukan suara mereka. Tidak harus sempurna, tapi mereka memerlukan ruang bicara yang bebas dan bisa tenang dalam berbicara, karena sebelumnya mereka harus sangat memilih kata-kata dengan hati-hati sebab berada di posisi yang rapuh.

Baca juga: Dampak Virus Corona, Kasus KDRT di Dunia Meningkat akibat Covid-19

5. Otot tegang

Otot tegang adalah indikator seseorang merasa gelisah, namun ia tetap merasionalisasinya sebagai masalah biasa.

IlustrasiThinkstockphotos Ilustrasi

Percaya naluri

Cobalah untuk lebih memercayai naluri. Dari pengalaman Thomas terhadap kliennya, korban kekerasan psikologis sebetulnya tidak menyukai orang yang melakukan kekerasan terhadap mereka.

Mereka tahu itu salah, tapi mereka merasionalisasinya dan tetap menghabiskan waktu dengan si pelaku kekerasan.

"Di situlah trauma bonding berawal. Namun ini sangat umum terjadi sebelum ada ketertarikan terjadi," ungkapnya.

Terkadang, pelaku kekerasan terlihat sangat karismatik, namun seringkali naluri korban mengatakan orang tersebut harus diwaspadai.

Baca juga: Waspadai, 7 Tanda Kamu Kencan dengan Orang Narsis

"Kurasa itulah yang terjadi ketika kita melihat mereka dengan mata jernih. Kita merasa ada sesuatu yang tidak benar, kemudian seiring waktu mata kita terdistorsi dan pada akhirnya memiliki keterikatan," kata Thomas.

Gejala fisik hubungan dengan kekerasan biasanya perlahan menghilang seiring korban pergi meninggalkan pelaku, namun terkadang gejala tersebut bertahan.

Misalnya, mereka merasa lebih rentan terhadap kecemasan daripada sebelumnya, atau perut mereka lebih sensitif daripada sebelumnya.

Namun, hal ini bervariasi pada setiap orang dan bergantung pada faktor lain, seperti usia, kondisi kesehatan umum dan berapa lama kekerasan terjadi.

"Selalu ada waktu pemulihan untuk setiap orang. Hanya saja, berapa lama pemulihan tersebut perlu dilakukan untuk setiap hubungan dengan kekerasan, masih menjadi pertanyaan," ungkapnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com