Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Derita Wanita yang Karantina di Rumah Bersama Pasangan Pelaku Kekerasan

Kompas.com - 10/04/2020, 21:13 WIB
Lusia Kus Anna

Editor

KOMPAS.com – Menghabiskan waktu 24 jam sehari 7 hari seminggu dalam satu rumah bersama dengan orang yang senang menyiksa, baik verbal atau fisik, merupakan kondisi yang harus dihadapi korban kekerasan selama hari-hari ini.

Laporan-laporan tentang kekerasan dalam rumah tangga melonjak secara global setelah karantina yang diberlakukan di berbagai negara. Menurut PBB, wanita di negara miskin dan juga rumah yang kecil cenderung tidak bisa melaporkan kasus kekerasan yang dialaminya.

Berikut adalah dua cerita wanita korban kekerasan yang saat ini menjalani masa karantina di rumah, seperti dikutip BBC.

Geeta, India
(wawancara dilakukan sehari sebelum pemerintah India menerapkan kebijakan lockdown 21 hari)

Geeta terbangun pada pukul 5 pagi, suaminya Vijay tidur di sebelahnya di lantai. Vijay mengorok keras.

Malam sebelumnya suami Geeta pulang ke rumah dalam kondisi mabuk dan marah. Selama wabah corona, penghasilan suaminya sebagai penarik autowallah (becak) turun drastis. Biasanya Vijay meraih penghasilan sekitar 1.500 rupee (sekitar Rp 300.000) menjadi hanya 700 rupee.

Baca juga: Terapkan Lockdown, Angka Pengangguran di India Bisa Tembus 23,4 Persen

“Sampai kapan lagi situasi akan seperti ini,” teriak Vijay, sambil melempar botol minuman keras ke tembok. Anak Geeta mengkerut ketakutan, bersembunyi di belakang ibunya.

Syukurlah tak berapa lama Vijay berbaring di tempat tidur, tempat seluruh keluarga berbagi kasur untuk tidur setiap malamnya.

“Butuh waktu lama untuk menenangkan anak-anak. Mereka sudah sering melihat ayahnya marah-marah, tetapi beberapa minggu terakhir ini semakin parah. Mereka juga sering melihat ayahnya melempar barang-barang atau menarik rambutku,” kata Geeta.

Geeta sudah sering dipukul suaminya, ia tak lagi bisa menghitungnya, tapi yang pertama kali terjadi pada malam pernikahan mereka. Geeta pernah berusaha melarikan diri, tetapi ia tak diijinkan membawa anak-anak.

Geeta dan keluarganya tinggal di lingkungan miskin yang disebut mohalla, sebuah daerah pinggiran.

Buruh migran berjalan menuju desa mereka selama karantina wilayah (lockdown) di New Delhi, India, Minggu (29/3/2020). Pemerintah India pada 24 Maret lalu mulai memberlakukan lockdown selama 21 hari di seluruh wilayah negara itu dalam upaya mengendalikan penyebaran COVID-19.ANTARA FOTO/XINHUA/JAVED DAR Buruh migran berjalan menuju desa mereka selama karantina wilayah (lockdown) di New Delhi, India, Minggu (29/3/2020). Pemerintah India pada 24 Maret lalu mulai memberlakukan lockdown selama 21 hari di seluruh wilayah negara itu dalam upaya mengendalikan penyebaran COVID-19.

Hari-hari Geeta biasanya dilalui dengan berjalan kaki mengambil air, memasak, dan menunggu anak-anaknya pulang sekolah.

“Tetapi sekarang berubah setelah sekolah ditutup. Anak-anak sekarang selalu di rumah dan mulai jadi sasaran kemarahan ayahnya,” katanya.

Suaminya menjadi gampang marah karena hal-hal kecil, termasuk saat anak-anaknya tidak bisa diam.

“Saya berusaha mengalihkan perhatiannya agar ia tidak marah ke anak-anak. Tapi, makin lama kami selalu di rumah, makin sulit mengalihkan perhatiannya,” katanya.

Baca juga: Kasus Kekerasan Rumah Tangga di Australia Meningkat Terkait Virus Corona

Kai, New York, Amerika Serikat

Kai merupakan remaja yang sekarang ini terpaksa tinggal dengan ayahnya. Sebelumnya, ia tinggal bersama sang ibu, namun setelah toko tempat ibunya bekerja ditutup, kini penyakit mental ibunya kambuh lagi.

Pengantar barang mengendarai sepedanya menyeberangi 7th Avenue di kawasan Times Square yang kosong akibat meluasnya penularan virus COVID-19, di wilayah Manhattan, New York, Amerika Serikat, Senin (23/3/2020).ANTARA FOTO/REUTERS/CARLO ALLEGR Pengantar barang mengendarai sepedanya menyeberangi 7th Avenue di kawasan Times Square yang kosong akibat meluasnya penularan virus COVID-19, di wilayah Manhattan, New York, Amerika Serikat, Senin (23/3/2020).

Ibunya lalu meminta Kai sementara tinggal dulu bersama ayahnya, padahal selama bertahun-tahun ia menjadi korban kekerasan fisik dan seksual dari pria yang dipanggilnya ayah itu.

“Saat aku kembali ke rumah ini, otakku seakan mati. Semua hal, perasaanku seolah mati,” katanya.

Ibu Kai kehilangan pekerjaan dan penghasilan sehingga ia menjadi depresi. Ia lalu meminta Kai meninggalkan rumah dan kembali ke ayahnya.

Selama beberapa bulan sebelumnya Kai rutin mengikuti terapi untuk mengatasi kekerasan yang dialaminya dari sang ayah. Menurutnya, ia sudah menjadi korban kekerasan sejak usia balita.

Baca juga: Fisik hingga Sosial, Begini Dampak Korban Kekerasan Seksual

Namun, ia tidak pernah berani menceritakan secara utuh kekerasan yang dialaminya pada ibu atau kakaknya.

Setelah mengikuti terapi, Kai merasa lebih tenang dan terkendali. Ia juga merasa punya harapan untuk masa depannya.

Lalu, rumah singgah tempat ia melakukan terapi harus ditutup karena wabah Covid-19. Kemudian ia pun terpaksa pulang ke rumah ayahnya.

“Ia selalu di rumah sepanjang hari. Pada siang hari ia menonton televisi di ruang tamu. Di malam hari, aku tahu ia menonton film porno,” kata Kai.

Kai tidak pernah bisa tidur tenang selama ia di rumah ayahnya. Pintu kamarnya tidak ada kuncinya. Kini untuk menghindari ayahnya, Kai hanya keluar kamar untuk ke kamar mandi dan makan di dapur.

“Ia memang belum melakukan apa pun, tetapi antisipasi dan aku harus selalu berjaga-jaga membuatku gila,” katanya.

Sehari-hari Kai hanya melakukan aktivitasnya online. Ia menonton YouTube dan juga cara-cara pembuatan film.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com