Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Sampai Kapan Manusia Bertahan Makan Seadanya?

Kompas.com - 15/04/2020, 20:28 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com - Jawaban singkatnya barangkali tidak sama bagi semua orang. Tergantung kondisi awal saat ‘makan seadanya’ itu dimulai.

Tak jauh beda dengan pertanyaan yang sama soal “Sampai kapan kita bertahan hidup dengan ekonomi seperti ini?”

Orang yang punya tabungan, tentu beda dengan yang baru dapat gaji saja uangnya hanya numpang lewat: terpotong cicilan, tagihan, ongkos hidup dan pajak.

Baca juga: Penuh Haru, Kisah Pasien Corona yang Melahirkan di Tengah Koma

Orang dengan ‘tabungan’ imunitas yang baik, tentu beda dengan mereka yang makan saja agar organ tubuhnya masih bisa bekerja.

Atau anak cacingan kronis, yang makanan sehatnya hanya untuk menghidupi koloni cacing di ususnya, ketimbang membuat si anak tumbuh besar.

Di tengah pandemi virus corona, diam-diam terjadi pandemi dadakan orang berbagi sembako. Tentu semua ada yang memulainya, lalu diikuti sebagai kegotongroyongan.

Bukan hal yang buruk, bukan hal yang salah. Sama sekali tidak. Tapi menjadi masalah besar jika tidak dipikirkan kelanjutannya, dampaknya dan pesan terselubung dibalik nilai altruisme yang semestinya membawa kebaikan itu.

Baca juga: Mengapa Orang Panik dan Borong Makanan Saat Wabah Covid-19

Pertama, pesan “di rumah saja” menjadi kabur. Sebab, pembagian sembako di jalan-jalan raya membuat orang berpikir lebih mudah meraih rezeki lewat daripada diam di rumah menunggu kebijaksanaan pak RT dan pembagian yang adil.

Kedua, donasi sporadis menyisakan pertanyaan: di mana koordinasi? Apa sulitnya bila semua donasi itu dipusatkan ke kementerian sosial, dinas sosial propinsi atau kabupaten, yang punya perangkat daerah, melalui gubernur, bupati, hingga camat dan lurah sampai kepala desa bisa dijadikan ranting kerja yang efisien dan tangguh.

Ketiga, banyak yang tidak menyadari bahwa kondisi pandemi virus corona tidak sama seperti bencana banjir, yang hitungan hari dan minggu bisa diselesaikan sambil bebersih.

Efek domino penularan virus corona mengharuskan semua orang berhenti. Berhenti keluar rumah, berhenti menjalankan hidup ‘seperti biasanya’, berhenti yang apabila tidak dipahami jalan keluarnya maka berarti berhenti hidup sama sekali.

Tidak semudah itu orang dianjurkan bekerja, belajar, dan beribadah dari rumah. Sebab, tidak semua orang bekerja sebagai pegawai kantoran yang terhubung dengan internet.

Tidak semua anak punya gawai untuk mengunduh tugas, apalagi jika orangtuanya hanya bisa berteriak-teriak menyuruh mereka belajar tanpa harus paham apa yang dipelajari.

Petinggi kita hidup di alam khayal, seakan-akan kualitas pendidikan kita seperti di Korea Selatan.

Baca juga: Hobi Konsumsi Makanan Kaleng? Waspadai Bahayanya

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com