Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Bagaimana Kita Pasca Pandemi, Tergantung Kita Hari Ini

Kompas.com - 13/05/2020, 08:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com - Saya menghitung begitu lamanya kita ‘di rumah saja’ dari berapa kali saya melakukan hal-hal rutin yang tadinya dikerjakan berulang secara periodik tanpa disadari.

Hal-hal otomatis kerja batang otak akhirnya masuk ke otak depan sebagai kesadaran: sudah enam kali ganti sarung bantal yang menjadi kebiasaan di akhir minggu. Sudah mengganti 1 tube pasta gigi yang biasanya habis dalam kisaran enam minggu juga.

Artinya, saya sudah satu-setengah bulan tidak praktik normal di kamar praktik, kecuali online dengan pasien yang tidak membutuhkan pemeriksaan fisik.

Baca juga: Wabah Virus Corona yang Mengubah Marwah Manusia

Satu setengah bulan sama sekali tidak ke restoran, satu setengah bulan tidak ke pasar, bahkan satu setengah bulan saya tidak ‘cipika-cipiki’ kecuali dengan suami dan anak serumah.

Dalam teori perubahan perilaku, jika saya tambahkan satu setengah bulan lebih lama lagi kebiasaan ini, artinya tiga bulan penuh saya menjalani sebagai rutin yang baru, maka secara teoritis kebiasaan baru saya ini akan menjadi perilaku menetap.

Bisa dibayangkan, jika perubahan tersebut berkaitan dengan kebiasaan makan dan cara berinteraksi di masyarakat. Termasuk cara bekerja dan cara anak-anak belajar.

Saya saja merasakan waktu yang dihabiskan dengan memegang gawai jauh berlipat ganda hingga menderita nyeri otot sternocleidomastoideus.

Tidak ada penilaian baik, buruk, benar, salah, yang pasti bagaimana kita nantinya, semua ditentukan dari hari ini.

Ada beberapa teman yang bilang dengan bekerja di rumah, ia justru lebih produktif dan kreatif, minimal semangat kerja tidak dipatahkan gara-gara keburu kesal dengan macet dan bertemu dengan orang-orang yang ‘bikin bete pagi-pagi’.

Sebaliknya, ada juga yang mengeluh tidak bisa konsentrasi karena terlalu banyak “pengalihan domestik”: tiba-tiba diminta istri mengecek mesin cuci sudah berhenti belum, tiba-tiba anak menarik-narik baju minta dipuji hasil lukisannya, hingga kucing yang menginjak laptop karena merasa diremehkan majikannya.

Baca juga: Covid-19: Ujian Kesehatan, Kesadaran, dan Kewarasan

Satu hal yang amat merisaukan saya: berbagai anjuran hingga protokol kerap kali sepertinya ditujukan bagi ‘kalangan yang baik-baik saja’.

Punya kamar ekstra buat isolasi mandiri. Punya tisu buat matikan keran selepas cuci tangan pakai sabun 20 detik dengan benar. Punya kuota, sinyal bagus dan perangkat gawai buat si anak belajar dari rumah.

Lalu tiba-tiba disrupsi terjadi: saat pemerintah mulai membagi sembako, semua kenyataan muncul.

Banyak orang masih berebut pembagian. Padahal, logikanya, jika mereka yang mematuhi semua protokol lengkap itu benar ada dan nyata, maka fenomena berebut sembako tak mungkin terjadi. Sebab, mereka masih hidup mapan, bahkan patuh dengan istilah jaga jarak fisik aman.

Betul, bagaimana pun kondisi riil suatu negara, protokol tetap harus dibuat. Tapi perkara dipatuhi, tentu realitas bicara.

Ada beberapa hal yang ‘tidak fit in’ dalam konteks masyarakat kita, yang sudah biasanya ‘kayak begitu’ – seperti berebut donasi hingga atensi. Dari berebut bicara di forum terhormat hingga berlomba siapa paling depan di semua antrian.

Jika gubernur sempat dihujat dengan uji coba kejutan publik DKI disuruh menerapkan jarak aman di halte trans Jakarta, bayangkan siapa lagi yang bakal kena semprot penumpang pesawat jika dipaksa antri 1.5 meter kiri-kanan depan-belakang waktu ambil bagasi di karousel bandara, yang dalam kondisi normal saja bisa lelet setengah mati.

Baca juga: Cara Menjaga Kesehatan Saluran Pernapasan di Tengah Pandemi Covid-19

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com