Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Bagaimana Kita Pasca Pandemi, Tergantung Kita Hari Ini

Kompas.com - 13/05/2020, 08:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

 

Memakai masker, gampang. Tapi memakainya dengan benar agar tujuan tercapai – itu soal belakang. Bukankah begitu?

Bahkan para pejabat tidak mencontohkan pemakaian masker sesuai aturan, mulai dari hiasan leher atau menggantung di dagu, yang menurut para pakar justru menyebabkan apa yang menempel di bagian luar masker mengontaminasi pemakainya.

Padahal, dengan mudah masker dilepas dan dilipat dengan benar masuk ke dalam kantong – jika mau diwawancara daring, agar nampak sopan.

Tak heran semua anjuran nampak seperti slogan. Begitu juga dengan anjuran gizi seimbang. Buat yang sudah terlanjur mendapat sembako berisi makanan instan dan kaleng sarden, malah bertanya: Mi goreng campur sarden sehat juga kan?

Sementara itu petani dan nelayan di pesisir menjerit, karena sepi pembeli – yang rupanya pembeli mereka bisa jadi bukan untuk konsumsi langsung masyarakat, melainkan dijadikan makanan proses. Saat bisnis prosesan tunggang langgang, petani dan nelayan otomatis tumbang.

Baca juga: Sampai Kapan Manusia Bertahan Makan Seadanya?

Saya bisa menyetujui dan amat paham, bila dalam kondisi satu setengah bulan ini semua pihak sama-sama gagap. Mulai dari petinggi pemerintahan, akademisi, pakar profesi hingga masyarakat awam.

Tapi perlu ada yang mengingatkan, bahwa di saat kritis ini, kita sama-sama meletakkan sejarah, titik tolak baru, yang apabila penerapannya salah, maka ibarat karma yang tak akan selesai.

Membuat keputusan, menyusun petunjuk pelaksanaan, bukan hal yang mudah. Indonesia, jauh berbeda dengan Singapura apalagi Australia.

Mulai dari situasi geografis hingga latar belakang etnis. Itu sebabnya dibutuhkan keterampilan sekaligus kecerdasan tingkat tinggi untuk menyiasati kondisi pandemi.

Belum lagi literasi ‘seadanya’ – yang membuat jari dan mata bertindak lebih cepat untuk meneruskan berita ketimbang penggunaan logika.

Jadi tak heran yang dicari justru referensi soal jahe sebagai penangkal virus dan dibesar-besarkan ketimbang perubahan perilaku yang sungguh-sungguh terbukti membuat transmisi infeksi berhenti.

Tiga bulan, adalah waktu yang amat krusial untuk membuat bagaimana kita bisa lolos dari pandemi dan bagaimana kebiasaan baru bisa membentuk normalitas perilaku baru.

Tiga bulan takut ke dokter, berarti orang-orang dengan penyakit kronis berada dalam krisis yang bisa jadi tidak dipahami, baik oleh penderita maupun keluarganya.

Apalagi jika selama isolasi, makan pun suka-suka sendiri. Tanpa pengecekan dokter dan hasil lab yang minimal bikin tahu diri – itulah sebabnya, kenapa penderita hipertensi dan diabetes yang diam-diam menggemuk selama di rumah berakhir fatal.

Apalagi, penelitian terbaru menyebut sel lemak menjadi sel target menempelnya virus Covid 19 dalam tubuh manusia.

Beberapa pasien bahkan nekat mengganti-ganti obatnya sendiri, setelah membaca sana-sini bahwa ‘obat kimia bahaya’ – sehingga di zaman serba jamu ini, semua penyakit nampak ringan ‘dihajar’ jamu sapu jagad.

Baca juga: Mengapa Harus Menjaga Kesehatan Jantung Selama Pandemi Covid-19?

Mentalitas serupa ini tidak hanya terjadi pada masyarakat perkotaan dan metropolitan, yang jika ada apa-apa masih bisa panggil ambulans.

Tapi sudah merangsek hingga pelosok, bahkan jauh sebelum pandemi, saat ada gubernur mewajibkan daun kelor dimakan semua perempuan yang siap kawin sebagai pencegah stunting – dan tidak ada petinggi yang berani mengoreksi beliau.

Kita belum selesai dengan masalah-masalah ngeri di tanah air yang berkaitan dengan gizi. Wajah malnutrisi seharusnya tidak boleh menghantui pasca pandemi.

Pembenahan dini harus segera dilakukan, walaupun donasi emergensi tetap tidak bisa dinafikkan, bukan dibiasakan.

Apabila krisis ekonomi berkepanjangan, maka strategi memuliakan gizi harus dipikirkan.

Gizi yang berpihak dengan masyarakat masa depan, bukan keuntungan segelintir orang mapan yang justru kerap mencatut alasan ‘demi masyarakat’ sebagai kesinambungan perusahaan.

Saya masih optimis dengan kebiasaan-kebiasaan baru yang bisa dibangun: agar berhemat sekaligus sehat, banyak yang mulai masak sendiri di rumah, belajar mengenal bumbu yang bisa diracik sendiri ketimbang beli yang serba praktis dan instan.

Kian banyak yang mengadopsi kampanye ‘Tinggalkan kemasan, tingkatkan kupasan!’.

Baca juga: Demi Kesehatan, Tingkatkan Kupasan dan Tinggalkan Kemasan

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com