Artinya, jika tidak ada adaptasi, itu justru akan membahayakan kehidupan. Setidaknya, akan mengurangi kemampuan organisme dalam bertahan hidup.
Baca juga: Adaptasi Warga Wuhan Jalani Hidup Normal Setelah Dua Bulan Lockdown
Hal menarik lain juga bisa didapatkan dari model adaptasi yang disampaikan Robert K Merton (1968).
Dari model itu bisa dibaca, bahwa berhadapan dengan lingkungan "baru", individu tidak hanya punya pilihan dikotomis: menerima atau menolak. Sebab, di antara itu ada yang lainnya, yakni tindakan "alternatif" dan "substitusi".
Alternatif terjadi jika dalam berhadapan lingkungan baru itu individu malah menemukan dan menentukan sendiri tujuan atau cara baru.
Dengan demikian, ketika rutinitas yang sudah berlangsung sekian lama hilang atau berubah. Hal itu justru melahirkan sesuatu hal lain yang selama ini tidak ada.
Misalnya, referensi baru dalam materi perkuliahan. Bisajadi, karena rutinitas yang ada dan menjadi kebiasaan, referensi perkuliahan "begitu-begitu saja". Tidak ada hal yang baru.
Tetapi ketika rutinitas itu berubah malah ditemukan referensi baru. Sesuatu yang baru susah ditemukan karena rutinitas, sekarang malah berlimpah.
Baca juga: Belajar dari Rumah, Antara Orangtua Gagap Adaptasi dan Anak Tak Senang
Bentuk lain adaptasi adalah substitusi. Berbeda dengan alternatif, dalam substitusi umumnya tidak ada makna baru.
Ia hanya mengganti dari sebelumnya yang ada dengan cara baru. Misalnya, perkuliahan tatap muka diganti dengan kuliah online, interaksi fisik digantikan dengan interaksi lewat dunia maya.
Malah bisa jadi, bukannya menemukan hal baru, di subsitusi justru menghilangkan sesuatu yang sebelumnya ada. Misalnya saja, afeksi yang tidak ada di interaksi online.
Adaptasi bukan suatu hal yang bisa ditawar. Adaptasi menjadi keharusan. Apalagi, jika lingkungan baru ini gara-gara corona akan berlangsung lama.
Artinya, lingkungan baru, rutinitas baru yang berbeda dengan sebelumnya menjadi "normal baru". Misalnya, yang sekarang sudah terbayang adalah kebiasaan baru, yakni cuci tangan, tidak berjabat tangan, menjaga jarak.
Tentu adaptasi terhadap normal baru itu bisa dilatih dengan berbagai hal. Misalnya, pertama, social distancing bukanlah emotional distancing. Maksudnya, meskipun hanya lewat online, tetapi bersosialisasi tetap berlangsung.
Baca juga: Melihat Penerapan New Normal di Vietnam, Jerman, dan Selandia baru
Kedua, memperluas wawasan. Ketika akitivitas fisik terbatas, janganlah itu diartikan terbatas pula aktivitas kognisi. Ketiga, mengembangkan hobi.
Hobi biasanya melibatkan imajinasi. Konon, imagination is more importance than knowledge.
Dra Ninawati, MM
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara