Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 26/05/2020, 08:58 WIB
Glori K. Wadrianto

Editor

KOMPAS.com - Ketika kebijakan karantina di Amerika Serikat mulai dilonggarkan, bersamaan dengan itu warga mulai berduyun-duyun datang ke restoran, pantai, dan ruang-ruang terbuka lainnya, termasuk untuk merayakan Memorial Day.

Memorial Day adalah hari libur federal di AS yang diperingati setiap tahun pada Senin terakhir bulan Mei, untuk mengenang mereka yang gugur saat berdinas di militer AS.

Pemandangan serupa pun terlihat di Indonesia, ketika -meski tak ada pengumuman pelonggaran PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar)- namun momen menjelang Idul Fitri membuat keramaian di banyak tempat.

Baca juga: Jepang Kalahkan Covid-19 meski Abaikan Rulebook, Kok Bisa?

Lantas bagaimana dengan upaya pencegahan dan pemutusan rantai penyebaran virus corona?

Rasanya, ada baiknya jika kita mencoba berkaca pada sejarah.

Pandemi flu global tahun 1918 masih menjadi catatan paling mematikan dalam sejarah dunia.

Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS, pandemi ini menewaskan 50 juta orang di seluruh dunia, dan lebih dari setengah juta di Amerika Serikat.

J. Alexander Navarro dari Pusat Sejarah Kedokteran Universitas Michigan menyusun "Influenza Archive" -kumpulan katalog informasi dan mempelajari efek pandemi 1918 di 43 kota besar di AS.

Penelitian ini mencari jawaban untuk sebuah pertanyaan kunci, apakah jarak sosial efektif pada tahun 1918 sebagai cara untuk memperlambat penyebaran penyakit, dan menyelamatkan nyawa?

Navarro mengatakan, kota-kota yang menutup sekolah dan melarang pertemuan publik bernasib lebih baik saat melawan pandemi flu.

Baca juga: Uji Coba Pertama Vaksin Covid-19 Sudah Menunjukkan Hasil

"Mereka memiliki puncak yang lebih rendah dan jumlah total kasus dan kematian yang juga lebih rendah," kata dia.

Bahkan, perintah di seluruh negara bagian membuat masker sebagai perlengkapan wajib, dan menutup bisnis tidak penting tersebar luas pada tahun 1918.

Di San Francisco, misalnya, memberlakukan ketentuan denda bagi orang yang tidak mengenakan masker di depan umum. Kebijakan itu sempat memicu protes di masanya.

Penelitian saat ini yang melacak keberhasilan upaya social distancing untuk memudahkan pemutusan risiko penyebaran virus corona pun mendapatkan kesimpulan yang sama.

Namun, berbagai model dan level penegakan aturan, serta pecahnya Perang Dunia I hasil yang beragam dalam pandemi di tahun 1918.

Kelengahan tersebut yang lalu menandai datangnya gelombang penyakit kedua, sekaligus kasus yang paling mematikan di AS.

“Pandemi dimulai di kamp militer terlebih dahulu dan terutama. Jadi militer bekerja untuk mengendalikan pandemi di kamp-kamp itu,” kata Navarro.

Lalu, keputusan otoritas Philadelphia untuk tidak membatalkan acara Liberty Loan parade pada akhir September, memicu 1.000 kematian dalam kurun waktu 10 hari.

Baca juga: Presiden Trump dan Masker yang Tak Pernah Dipakainya

.REPRO BIDIK LAYAR VIA WASHINGTON POST .

Kasus itu menjadikan kota tersebut sebagai salah satu yang paling terpukul di masa pandemi kala itu.

Kota-kota lain seperti Denver mencabut pembatasan sosial di bulan November bertepatan dengan Armistice Day untuk merayakan berakhirnya perang. Keputusan itu pun memicu lonjakan korban yang lebih mematikan.

"Hampir setiap kota yang kami periksa melaporkan kerumunan besar yang berkumpul di pusat kota di toko-toko dan kafe-kafe, teater, dan arena bowling."

Navarro mengatakan, keramaian itu muncul sesaat setelah kebijakan lockdown dicabut.

Lebih jauh Navarro mencatat, perbedaan utama antara pandemi 1918 dan pandemi Covid-19 saat ini adalah lanskap ekonomi yang sangat berbeda. Khususnya peran ritel, restoran, bioskop dan usaha kecil lainnya.

“Di tahun 1918, otoritas dapat menutup tempat-tempat hiburan publik dan tidak memiliki dampak yang sama terhadap perekonomian lokal, karena sektor manufaktur sangat dominan,” kata Navarro.

"Jadi saya pikir kita masuk dalam dampak ekonomi yang jauh lebih besar dan lebih parah saat ini jika dibandingkan dengan yang terjadi di tahun 1918," tegas dia.

Ketika negara-negara terus bergulat dengan pandemi, banyak yang mengurangi pembatasan dan mendorong untuk menghidupkan kembali ekonomi yang tertinggal.

Baca juga: Cara Pengusaha Salon Bertahan dari Badai Pandemi

Pada saat yang sama, para ahli kesehatan memperingatkan soal gelombang infeksi kedua.

Navarro amat berhati-hati untuk memetik pelajaran mana yang bisa diambil dari masa lalu, dan lalu mencatat kemajuan dalam sains dan teknologi medis.

Kendati demikian, ada satu hal yang tak berubah dan paralel dengan kondisi sekarang, yakni tentang perilaku manusia.

"Meskipun konteks historisnya berubah, akan ada tuntutan besar untuk kembali hidup seperti biasa," kata dia.

"Bukan tak mungkin akan ada konsekuensi kesehatan masyarakat yang mengerikan sebagai hasilnya," tegas dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com