Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Dipaksa, Terpaksa, Lalu Bisa, Kemudian Biasa hingga Jadi Budaya

Kompas.com - 03/06/2020, 09:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com - Frasa di atas sudah saya terapkan lebih dari sepuluh tahun belakangan ini. Singkatnya: membiasakan yang tidak biasa.

Bayangkan sulitnya mengajarkan asisten rumah tangga yang biasa ramah menyambut tamu, bahkan setiap sore setelah menyiram kebun depan lalu duduk-duduk mengobrol sambil berbagi jajanan dengan tetangga kiri kanan.

Lalu tiba-tiba, sekarang pengantar barang pun hanya dilirik dari balik jendela cukup dengan seruan,”Taruh aja di depan pintu! Makasih ya!”

Baca juga: Menyongsong “New Normal”, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Itu pun setelah berlatih sekian kali. Bagi orang Jawa, tidak sopan teriak-teriak dari dalam rumah apalagi terhadap orang yang mengantar sesuatu.

Pun ketika saya larang untuk tidak lagi ngobrol berdekatan dengan tetangga, apalagi mencolek-colek pipi balita sebelah yang amat menggemaskan.

Betapa sulitnya menjelaskan istilah ‘Orang Tanpa Gejala’, karena yang dilihatnya orang-orang biasa, hidup seperti biasa, jauh dari kata ‘sakit’. Bahkan, saya dituduh menghakimi orang sehat.

Kisah yang sama di kamar praktik, saat saya dituding bawel dan judes ketika mengingatkan pemuda gagah bertubuh tambun mengantar ayahnya yang diabetes.

Ditegaskannya pula bahwa ukuran tubuh besar sudah ‘genetik’. Dan bila ia terkena diabetes suatu hari pun, dianggapnya kodrat yang tak terelakkan.

“Ngapain sehat-sehat gini makan pakai diatur-atur dok? Selama ini saya sehat-sehat saja. Olahraga juga kok. Kalau lembur atau bergadang, yaaaah nambah suplemen lah,” katanya.

Baca juga: Sampai Kapan Manusia Bertahan Makan Seadanya?

Tiba-tiba, di tengah pandemi seperti ini, orang-orang yang tadinya merasa jagoan mendadak khawatir. Apalagi ada istilah komorbid, penyakit yang sudah menahun menghuni tubuh.

Begitu yang punya tubuh ‘ketempelan’ virus covid-19, urusan menjadi panjang. Karena selidik punya telisik, orang-orang yang merasa baik-baik saja itu ternyata tubuhnya tidak baik dalam arti sesungguhnya.

Apalagi, studi belakangan menyebut virusnya justru giras menyerbu sel-sel lemak, karena di situ terdapat reseptor ekspresi Angiotensin Converting Enzyme 2 (ACE 2).

Barangkali, ada baiknya memang vaksin tidak segera ditemukan. Sebab di tengah situasi ‘dipaksa’ hidup lebih sehat seperti ini, makan lebih terjaga, apa yang masuk mulut benar-benar disadari dampaknya, maka awal keterpaksaan ini membuat orang menyadari ternyata ia bisa juga makan sayur dan buah, rutin pula.

Barangkali karena di rumah saja, maka muncul kebiasaan baru setiap membuka lemari es: mengambil buah. Bukan yang lain.

Dan apabila kebiasaan ini berjalan terus berkesinambungan, maka dalam waktu 3 bulan akan muncul pola menetap – yang akan menciptakan ‘kebudayaan’ baru.

Baca juga: Wabah Virus Corona yang Mengubah Marwah Manusia

Asal muasal ‘new normal’ sebenarnya tak lain dari hal-hal baru yang diadopsi, diinternalisasikan menjadi kebiasaan yang nantinya jika tidak dilakukan terasa seperti ‘ada sesuatu yang hilang’.

Seperti remaja perempuan yang punya normalitas baru membawa lipstik, sekarang kita berada dalam situasi membiasakan punya hand-sanitizer, selain dompet dalam tas.

Tidak semua kebiasaan baru disambut dengan tangan terbuka. Apalagi jika dianggap merepotkan, menambah biaya dan ada hal yang dikorbankan – tidak sepadan dengan keuntungan yang bisa diraih dengan normal yang baru itu.

Di sinilah dinamika peran komunikasi efektif menjadi amat penting. Indonesia adalah negri dengan kebhinekaan yang amat unik. Termasuk kebhinekaan jenjang literasi.

Sama-sama terhubung dengan media komunikasi digital, tapi ada yang menggunakannya untuk kepentingan ‘sekadar sosialisasi’ (yang ujung-ujungnya saling lapor ke polisi atau saling hujat), ada yang bergantung dengan media sosial demi penghasilan, dan sebagian kecil ada juga kelompok elit intelektual menelisik setiap perkembangan ilmu dan data teranyar, demi rasa penasaran yang terbayarkan.

Baca juga: IDI: New Normal Harus Dihadapi, tapi Ada Tahapannya

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com