Hal yang sama dengan membuat perilaku terpaksa bisa diinternalisasikan menjadi kebiasaan dan budaya baru. Hal-hal yang tadinya perlu dilakukan dengan sadar, akhirnya menjadi perilaku otomatis.
Yang menjadi repot, memang perilaku baru itu amat melawan arus. Cipika-cipiki berubah menjadi jarak 1.5 meter, makan di kantor sendiri-sendiri tanpa berbagi lauk apalagi saling menyuap.
Abang penjual cimol atau mi ayam terpaksa ditinggalkan, karena jauh dari protokol kesehatan. Tak mungkin si penjual mencuci tangan berulang kali di pinggir jalan dengan sabun dan air mengalir.
Mangkuk-mangkuk dan sendok bekas pelanggannya saja selama ini dibilas dengan air sabun di ember yang sama.
Kita hanya bisa melalui ini semua, apabila mau menjalani hidup dengan penuh kesadaran. Full awareness.
Kadang perubahan itu terasa menyakitkan dan kejam. Ada kelompok masyarakat yang termarjinalisasi.
Bahkan hingga kini kita semua gagap tanggap. Tapi ini bukan kondisi fatalistik. Hanya sekadar disrupsi yang cukup mengagetkan.
Syok ‘terapi’ yang dipaksa oleh situasi. Kebandelan umat manusia yang terpaksa harus sadar diri. Bisa atau tidak, itu soal kemauan untuk berubah.
Pembiasaan pun butuh waktu, yang di sana-sini masih butuh mentoring dan proses pembelajaran yang tak boleh ditinggal. Hingga akhirnya kita masuk pada peradaban baru. Budaya baru.
Dan di situlah kelebihan umat manusia. Sebab jika pandemi ini terjadi pada hewan, mereka cepat atau lambat akan musnah, tepatnya punah – tapi manusia yang mampu berubah akan menuai hikmah.
Baca juga: Covid-19: Ujian Kesehatan, Kesadaran, dan Kewarasan
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.