Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 15/06/2020, 20:33 WIB
Gading Perkasa,
Bestari Kumala Dewi

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Intermitten fasting, atau diet intermiten, termasuk ke dalam jenis diet yang populer belakangan ini.

Diet ini melibatkan puasa setiap hari selama 16 jam, serta membatasi waktu makan harian kita menjadi delapan jam.

Bagi yang menjalankan diet intermiten, mereka tidak mengonsumsi makanan apa pun setelah makan malam, serta melewatkan sarapan.

Baca juga: Mengenal Puasa Intermiten dan Manfaatnya untuk Kesehatan

Hal itu pula yang dilakukan oleh Steven Petrow, kolumnis kontributor di The Washington Post.

Diet intermiten pertama kali menarik perhatiannya pada tahun lalu ketika temannya, Reid Freeman (61) yang mengelola pabrik di Lexington, Kentucky, AS, telah menerapkan pola diet ini untuk menurunkan berat badan.

Freeman berharap, penurunan berat badan akan membantu kondisi sleep apnea yang ia alami, berkaitan dengan peningkatan risiko serangan jantung, stroke, dan detak jantung abnormal (dikenal sebagai atrial fibrilasi).

Kini, tiga tahun setelah diet intermiten, Freeman mengatakan kepada Petrow bahwa ia telah menurunkan berat badannya sebanyak 20 kilogram.

Dan yang terpenting, sleep apnea yang dialami Freeman sembuh, mengurangi risiko gangguan jantung.

Petrow telah mengonfirmasi hasil tersebut kepada Freeman karena ia belum lama ini mengetahui jika dirinya berisiko tinggi terkena serangan jantung, bukan sleep apnea namun ia memiliki sindrom metabolik.

Sindrom metabolik adalah gangguan kesehatan yang mencakup obesitas, resistensi insulin atau hipertensi, atau kombinasi keduanya, yang meningkatkan risiko penyakit jantung dan serangan jantung.

Berdasarkan risiko itu, ahli jantung Petrow, yaitu Arthur Agatston, profesor di University of Miami Miller School of Medicine, merekomendasikan diet intermiten kepadanya.

Petrow berpikir risiko serangan jantungnya rendah. Namun, pemindaian kalsium koroner memberi tahu ia hasil sebaliknya.

Puasa intermiten terkenal di Amerika Serikat berkat konferensi TED Talk 2014 "Why Fasting Bolster Brain Power" oleh Mark Mattson, ahli saraf di Johns Hopkins Medicine.

Mattson menyebut pola 16: 8, di mana kita berpuasa 16 jam sehari, dan membatasi makan hingga delapan jam, adalah yang paling populer.

Pendekatan lain termasuk puasa hari alternatif dan metode 5: 2, yang membutuhkan puasa dua hari berturut-turut dalam waktu seminggu.

"Belum ada penelitian yang membandingkan pendekatan diet intermiten yang berbeda pada manusia," kata Mattson.

"Sehingga, yang bisa kita lihat adalah beberapa pendekatan berbeda lebih baik daripada tiga kali makan ditambah makanan ringan setiap hari."

Baca juga: Diklaim Efektif Menurunkan Berat Badan, Ini 4 Metode Puasa Intermiten

Aktor David Weincek, teman Petrow, menerapkan pola 16:8, di mana ia hanya makan selama delapan jam per hari. Menariknya, ia berhasil mengurangi berat badan sebanyak 9,9 kilogram dalam waktu empat bulan.

"Saya sadar saya memiliki lebih banyak energi dan stamina saat menjalani hari," katanya.

Rupanya, sebagian orang yang Petrow kenal telah mengikuti diet intermiten, bukan hanya untuk menurunkan berat badan, melainkan juga umur panjang, kinerja kognitif, masalah tidur, dan yang relevan bagi Petrow, kesehatan jantung.

Jika kita merasa penasaran, diet intermiten bukan lagi skema penurunan berat badan cepat yang bisa kita temukan di internet.

Akhir tahun lalu, New England Journal of Medicine menerbitkan studi dari penelitian tentang diet intermiten dan potensinya untuk mengurangi risiko kesehatan, termasuk multiple sclerosis, gangguan usus dan berbagai jenis kanker.

Salah satu pemimpin studi, Mark Mattson, menjelaskan manfaat signifikan diet intermiten bagi kesehatan jantung.

"Diet intermiten memungkinkan orang yang kelebihan berat untuk menurunkan berat badan dan meningkatkan banyak indikator kesehatan berbeda termasuk standar glukosa, faktor risiko kardiovaskular dan peradangan."

Faktor-faktor risiko tersebut termasuk tekanan darah, detak jantung saat istirahat, kadar kolesterol baik (HDL) dan jahat (LDL), trigliserida, glukosa, insulin, dan resistensi insulin atau sindrom metabolik.

Agatston, ahli jantung yang menangani Petrow, mengatakan diet intermiten secara efektif akan mengatasi resistensi insulin pada Petrow, yang disebabkan terlalu banyak konsumsi gula dan karbohidrat olahan, termasuk roti, nasi putih dan pasta.

Resistensi insulin biasanya dapat berkembang menjadi pradiabetes, diabetes, tekanan darah tinggi dan bahkan aterosklerosis atau pengerasan pembuluh darah.

Akhir musim gugur lalu, American Heart Association melaporkan dua studi yang menunjukkan, jika diet intermiten diasosiasikan dengan tingkat gagal jantung yang lebih rendah dan rentang hidup lebih lama.

"Hasilnya memiliki efek lebih mendalam pada kesehatan jantung dibandingkan perkiraan kami," kata ahli epidemiologi Benjamin Horne yang mempresentasikan temuan awal pada konferensi AHA, dalam artikel Heart Association.

Baca juga: 6 Buah yang Cocok untuk Diet Sekaligus Bermanfaat untuk Kesehatan

Namun, profesional medis lain masih ingin melihat lebih banyak penelitian untuk menentukan manfaat jangka pendek dan panjang diet intermiten, serta potensi efek samping yang merugikan.

Carl E. Orringer, direktur Preventive Cardiovascular Medicine di University of Miami Miller School of Medicine, saat ini tidak merekomendasikan diet intermiten kepada pasiennya yang menderita penyakit jantung.

Orringer tidak menyangkal temuan dalam artikel New England Journal of Medicine, namun ia memiliki tiga kekhawatiran tentang penerapan diet tersebut. Yaitu:

1. Diet intermiten sulit untuk ditaati, mengingat lamanya waktu makan sudah terbentuk secara budaya.

2. Diet intermiten dapat menyebabkan kelaparan jangka pendek, lekas marah, dan sulit berkonsentrasi.

3. Sebagian besar dokter tidak dilatih untuk meresepkan diet tersebut.

"Saya ragu berapa jumlah pasien yang akan mendapat akses ke konseling dan tindak lanjut yang diperlukan untuk memaksimalkan manfaat yang disarankan dari diet intermiten," kata Orringer.

Mattson mengakui, mereka yang baru menerapkan diet intermiten pada awalnya cenderung lapar dan mudah tersinggung usai waktu terakhir mereka makan.

"Namun, dalam dua hingga empat minggu sistem neuroendokrin pengatur energi dan sirkuit pengatur rasa lapar di otak mereka akan beradaptasi, dan mereka tidak akan lagi lapar selama periode diet," ujar Mattson.

Mattson menyebut, semua itu masalah waktu. Saat kita makan, hormon leptin dilepaskan ke aliran darah kita.

"Leptin bekerja pada hipotalamus, dan mengirimkan sinyal ke pusat otak yang lebih tinggi, memberi kita perasaan 'saya kenyang'," tuturnya.

"Di sisi lain, ketika kita belum makan apa pun dalam waktu lama, hormon yang disebut ghrelin dilepaskan sebagai gantinya. Ghrelin bertindak pada hipotalamus untuk memicu perasaan 'saya lapar'."

Meskipun kedengarannya berlawanan, tidak makan dalam waktu lama sebenarnya mengurangi tingkat ghrelin yang memicu niat untuk segera makan.

Baca juga: Ini Cara Lain untuk Mendapatkan Manfaat Diet Intermiten Tanpa Puasa

Agatston memberitahu Petrow untuk memulai diet dengan melewatkan satu kali makan sehari, biasanya sarapan.

Saat makan siang, Agatston menyarankan Petrow untuk makan lebih awal, dan makan malam tidak lebih dari delapan jam kemudian.

Ia mengingatkan pentingnya terhidrasi dengan banyak air, garam, dan suplementasi magnesium.

"Menyesuaikan tekanan darah dan pengobatan diabetes juga penting," kata Agatston.

Kita perlu berkonsultasi dengan dokter sebelum memulai diet intermiten, karena tidak semua orang cocok menjalani diet tersebut.

Dan, ada satu alasan lagi untuk mempertimbangkan diet intermiten, yaitu Covid-19.

Mark Hyman, dokter keluarga serta kepala strategi dan inovasi di Cleveland Clinic's Center for Functional Medicine, mengatakan hampir 90 persen orang di Amerika tidak sehat secara metabolik.

Kondisi itu, menurut Hyman, adalah saat kita memiliki tekanan darah tinggi, gula darah tinggi atau kolesterol tinggi, atau kombinasi dari semuanya.

"Diet intermiten dapat memberi kesehatan metabolisme yang buruk dan berakibat pada peningkatan berat badan, tekanan darah, kolesterol, gula darah dan peradangan, membuat penyakit kronis lebih parah."

Petrow tetap bertahan karena dua alasan. Alasan pertama, karena ia telah dibentuk selama bertahun-tahun dengan pemahaman bahwa sarapan adalah makanan terpenting.

Ia ingin menjaga jantung dan berat badan, namun ia juga tidak berpikir merasa lapar.

Namun, Petrow mengingat apa yang dikatakan Orringer kepadanya.

"Tidak ada solusi yang bekerja untuk semua orang. Saya ingin melihat lebih banyak data berkualitas, sebelum saya bisa menyetujui diet intermiten," kata Orringer.

Baca juga: Mengenal Lazy Keto, Diet Keto yang Lebih Fleksibel

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com