Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 22/06/2020, 11:40 WIB
Nabilla Tashandra,
Glori K. Wadrianto

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Tren bersepeda yang belakangan kian marak di Tanah Air menjadi ladang rezeki tersendiri bagi para pedagang sepeda.

Mulai dari toko-toko kecil di pinggir jalan, jaringan penjualan sepeda resmi, hingga pedagang yang memanfaatkan media sosial kebanjiran order. 

Nah, salah satu merek sepeda yang kian menjadi buah bibir adalah Brompton. Sepeda buatan Inggris ini memang sejak lama dikenal sebagai produk mahal.

Baca juga: Cerita Brompton Mahal Dikira Sepeda Kreuz Bandung, duh...

Keterbatasan pasokan di Indonesia, beban pajak, dan biaya pengiriman jelas memengaruhi harga jual.

Meski begitu, sebenarnya ada patokan harga wajar. Biasanya, di pasar Indonesia, varian standar Brompton bisa dijual pada rentang harga Rp 27 juta hingga kisaran Rp 35 juta.

Harga akan lebih mahal jika sudah menyangkut varian khusus, edisi terbatas, edisi khusus, dan lain-lain.

Namun, yang kini terjadi sudah kian menggila. Harganya berangsur naik, bahkan tak jarang hingga melebihi batas rasionalitas.

Brompton Explore, varian edisi terbatas yang sempat menghebohkan dalam kasus Garuda Indonesia, harga aslinya "hanya" sekitar Rp 27 juta.

Baca juga: Brompton Explore, Sepeda Mahal yang Sandung Dirut Garuda


Saat masuk ke Indonesia pada akhir tahun lalu, sepeda ini dipasarkan dengan harga sekitar Rp 50 juta.

Lalu, seri kolaborasi Brompton dan pebalap David Millar dalam varian limited CHPT3, di negeri asalnya dipasarkan sekitar Rp 35 juta, dan masuk ke Indonesia di kisaran Rp 60 juta.

Pertambahan harga itu masih tergolong wajar, mengingat biaya pengiriman, pajak dalam negeri, dan tentu saja laba bagi si penjual.

Namun, saat tren bersepeda pecah seperti saat ini, Explore "2nd" pun ditawarkan seharga Rp 80 juta, bahkan ada yang memasang harga Rp 100 juta.

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan menunjukkan kepada awak media onderdil atau suku cadang motor Harley Davidson dan sepeda Brompton ilegal yang diselundupkan di pesawat baru milik Maskapai Garuda Indonesia berjenis Airbus A330-900 NEO di Jakarta, Kamis (5/11/2019).KOMPAS.COM/MUTIA FAUZIA Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan menunjukkan kepada awak media onderdil atau suku cadang motor Harley Davidson dan sepeda Brompton ilegal yang diselundupkan di pesawat baru milik Maskapai Garuda Indonesia berjenis Airbus A330-900 NEO di Jakarta, Kamis (5/11/2019).

Untuk varian CHPT3, harga yang ditawarkan sudah melampaui Rp 100 juta, dan bahkan ada yang menjual Rp 200 juta.

Contoh lainnya, Brompton seri kolaborasi dengan rumah mode Barbour, Inggris. Dengan promo collectible item, sepeda keluaran 2017 laku terjual seharga Rp 120 juta oleh konsumen Tanah Air.

Lalu, Brompton hijau racing green, yang disebut langka karena warna tersebut sudah tak diproduksi lagi, menemukan pembeli di harga lebih dari Rp 200 juta hanya dalam tempo kurang dari 24 jam sejak iklan dipasang.

Setidaknya, demikianlah hasil pantauan Kompas.com di sejumlah akun penjual Brompton yang ada di media sosial.

Padahal, sebagai catatan, secara fisik dan spesifikasi, perbedaan Brompton yang satu dan yang lain biasanya hanya pada warna dan jumlah percepatan.

Kalaupun ada penggunaan material titanium pada bagian triangle dan fork, harga wajarnya tak terpaut jauh dari seri klasik.

Lalu, ada pilihan terbaru yang menggunakan tenaga listrik, tetapi varian ini masih kurang populer di Tanah Air.

Selebihnya, setiap sepeda Brompton dibuat dengan material dan struktur yang sama. Artinya, tak ada perbedaan signifikan dalam struktur dan material antara yang klasik ataupun versi limited edition.

Baca juga: Kreuz, Sepeda Brompton Made in Bandung yang Laris Manis

Jadi, mungkin kenyataan bahwa harga sepeda bisa sedemikian menggila bisa terasa amat janggal, bahkan gila.

Tetapi di sisi lain, kenyataannya ada, dan bahkan banyak, konsumen yang bersedia membayar harga "tak wajar" tadi, hanya karena perbedaan warna atau iming-iming limited edition dan sebutan rare item.

"Sakit jiwa"?

Psikolog klinis Ratih Ibrahim KOMPAS.com/Nabilla Tashandra Psikolog klinis Ratih Ibrahim

Psikolog klinis, CEO & Founder Personal Growth, Dra Ratih Ibrahim, MM dimintai pandangannya secara khusus terkait fenomena semacam ini.

"Mau dikaitkan dengan situasi pandemi atau tidak, dorongan untuk latah, ngikut aja, orang ramai-ramai kemudian kita ikut untuk menjadi bagian dari tren, itu sudah something that in us."

"Karena yang kena emosinya," sebut Ratih.

"Kalau dikaitkan dengan pandemi, orang kan bosen banget. Kalau orang Jawa bilangnya 'blenger'," sambung dia.

Tinggal di rumah, terkungkung, meskipun sebetulnya tetap bisa berkeliaran, secara psikologis membuat kesan terkurung. Hal ini yang kadang bisa menimbulkan stres. 

"Ketika stres, orang membutuhkan outlet. Outlet tuh macam-macam. Nah, outlet yang paling tersedia atau reliable adalah social media," kata dia.

Baca juga: Explore Edition, Varian Baru Sepeda Brompton untuk Para Petualang...

Padahal, media sosial tak memiliki batas. Segala hal ada di sana. Ada yang masuk di logika dan ada yang tidak.

"Tapi, kebanyakan akan ngetok di emosional. Jadi, unsur latah menjadi lebih dominan di situ,: sebut dia.

Lebih jauh, kaitan dengan stres tersebut adalah metode pelepasan yang bisa disalurkan dengan cara membeli. "Kan ada istilah stress buying, stress eating," ungkap Ratih.

"Jadi kalau ditanya apakah pasti kontrol dirinya lemah? Selalu enggak? Belum tentu. Tapi, bisa saja pada saat ini dia lemah, atau stimulusnya memang di tempat yang dia lemah," cetusnya.

"Jadi kalau digeneralisasi dia adalah orang lemah, enggak adil juga," tegasnya.

"Misalnya, ada orang yang kalau lihat tas, sepatu, susah banget menahan diri, padahal enggak perlu. 'Tapi, perlu untuk kesejahteraan psikologis gue', gitu."

Lalu, apakah hal ini mengganggu aspek kesehatan kejiwaan seseorang?

"Kejiiwaan dia terganggu enggak? 'Oh, she/he's very very happy and healthy', tapi dia suka banget aja belanja."

"Oh jadi sehat dong? Pada saat itu tidak mengganggu ranah hidup dia yang lain, enggak apa-apa."

Baca juga: Enggak Tega Beli Brompton? Coba Lirik Sepeda-sepeda Ini...

"Tapi, pada saat mengganggu, misalnya dia sampai terlibat utang, sampai bohong, nyolong, nah kita akan bilang itu sebagai gangguan," tegas Ratih.

Kendati demikian, Ratih pun menggarisbawahi tentang apakah konsumen semacam itu terganggu secara psikologis.

Menurut Ratih, seseorang akan dicap mengalami gangguan psikologis kalau dia tidak lagi memiliki kendali atas dorongannya.

"Misalnya, kita beli kuaci impulsif banget, terus udahnya mikir, 'Ngapain ya beli kuaci?' Waduh gue beli gambar kuaci Mickey Mouse seneng banget', jadi seperti hypnotized gitu."

"Pada saat itu, kita enggak punya kendali atas diri. Itu gangguan. Kalau cuma sekali itu, ya sudah dimaafkan."

"Tapi, begitu beli kuaci itu terus-menerus tanpa alasan dan tidak bisa mengontrol keinginan beli, itu berarti ada gangguan psikologis." tegas Ratih.

Jika hal itu yang terjadi, bagian itu yang perlu ditelaah, apa yang terjadi pada diri seseorang.

"Tapi, melakukan impulsive buying satu kali, itu understandable. Begitu menjadi pola, ada gangguan di situ."

"Ada sesuatu yang keliru di situ, apalagi kalau pola itu mengganggu ranah kehidupan yang lain, berarti jelas-jelas terganggu," tegas dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com