Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Beli Brompton Rp 250 Juta? Mikir, Mending Jalan-jalan ke London..."

Kompas.com - 23/06/2020, 08:19 WIB
Reni Susanti,
Glori K. Wadrianto

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Harga jual sepeda Brompton yang melambung melebihi batas kewajaran menyusul memuncaknya tren bersepeda di Indonesia sungguh menjadi perhatian banyak orang.

Tingginya harga tersebut membuat komunitas pencinta Brompton yang sudah lebih dulu berdiri ikut bereaksi dan mengungkapkan kegelisahannya.

Umumnya, mereka menilai kenaikan harga tersebut telah melewati batas kewajaran, dan sengaja dipakai oleh para pedagang spekulan yang hendak mendapat untung besar. 

Baca juga: Pahami, Mengapa Harga Sepeda Brompton Mahal...

“Ada yang menggoreng harga CHPT3--versi kolaborasi Brompton, di online shop dan sosmed, harganya sudah Rp 100 juta-Rp 250 juta, gelo bray.”

Begitu kata Baron Mertanegara, pendiri komunitas Brompton Owner Group Indonesia (BOGI), melalui sebuah unggahan video di akun media sosial BOGI.

Baron mengaku tidak setuju dengan praktik pedagang yang mengambil untung terlalu banyak.

Baca juga: Cerita Brompton Mahal Dikira Sepeda Kreuz Bandung, duh...

Ia menilai, persoalan harga tersebut sengaja "digoreng" agar harga naik. Namun sayangnya, harga yang ditawarkan tidak manusiawi.

Sepeda BSHUTTERSTOCK Sepeda B

Baron menduga, ada dua kemungkinan yang terjadi dalam kondisi itu.

Pertama, kata Baron, orang yang kesal karena harga naik, kemudian iseng mengumumkan harga Brompton ratusan juta rupiah untuk bahan bercanda.

Kedua, pedagang yang sengaja memonopoli atau mendramatisasi harga.

Misalnya, hari ini dijual Rp 100 juta, kemudian disebut laku. Besoknya dijual Rp 150 juta, disebut laku lagi.

Baca juga: Beli Brompton Harga Rp 200 Juta, Gangguan Jiwa?


Padahal, mereka yang merekayasa untuk membentuk opini konsumen bahwa barang tersebut memang banyak peminatnya.

"Padahal, barangnya Brompton yang sama. Pedagang dan pembeli pun orang yang sama," cetus Baron.

Kondisi serupa terjadi pada seri Brompton Explore yang dijual di rentang harga Rp 80 juta-Rp 90 juta.

Padahal, kata dia, harga asli di tempat pembuatannya di London hanya Rp 26 juta-Rp 28 juta tergantung kurs. Bahkan, pembeli asing di sana masih mendapat tax refund.

Baca juga: Enggak Tega Beli Brompton? Coba Lirik Sepeda-sepeda Ini...

Mending jalan-jalan ke London

.SHUTTERSTOCK .
Lebih jauh, bagi calon pembeli Brompton, Baron mengajak untuk berpikir jernih. 

Bray, nanti kalo ente punya duit Rp 250 juta, mending jalan-jalan sama gue ke London, beli tiket PP, oleh-oleh, Brompton. Bahkan bisa beli LV buat istri,” tutur dia.

“Pikniknya dapet, sepeda dapet, oleh-oleh dapet. Balik pun masih sisa,” tambahnya.

Mengingat kondisi yang kian menggelisahkan ini, Baron mengimbau para calon pembeli untuk bersabar.

Dia menyebutkan, pandemi Covid-19 memang membuat produksi Brompton di London berkurang dan pengiriman juga mengalami kendala.

“Jadi sabar saja. Kalau sudah normal, Brompton banyak di Indonesia. Jadi harus berpikir jernih,” ucap dia.

Baca juga: Kreuz, Sepeda Brompton Made in Bandung yang Laris Manis

Penikmat sepeda lipat asal Yogyakarta, Debyo, mengatakan, harga Brompton mulai melonjak saat kasus Garuda Indonesia terkuak.

Senada dengan Baron, dia menyebut harga "digoreng" karena ketersediaan barang yang langka. Hal inilah yang otomatis membuat harga naik.

“Tapi, jangan salah, ini sebenernya berlaku untuk part-part sepeda lainnya, entah itu Brompton atau merek lainnya,” ungkap dia.

Bahkan, pada masa pandemi ini, orang yang akan membeli sepeda harus mengantre sebelum toko buka. "Ini menjadi tren baru," kata dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com