KOMPAS.com - Rasa cemas merupakan salah satu emosi yang normal manusia, tetapi jika perasaan ini berlebihan mendominasi suasana hati maka hidup kita akan penuh kesedihan dan kemarahan.
Prevalensi penderita gangguan kecemasan di Indonesia, menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, mencapai 6 persen pada penduduk berusia 15 tahun ke atas.
Artinya, sekitar 14 juta penduduk di di Indonesia mengalami gangguan mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala kecemasan dan depresi.
Bentuk kecemasan sendiri beragam, ada yang susah tidur, stres, hingga meyakini dirinya sakit padahal pemeriksaan medis tidak menunjukkan adanya gangguan.
Jika selama pandemi ini kita merasa gangguan cemas, cobalah untuk membatasi membaca media sosial. Selain itu, melakukan hobi yang menyenangkan seperti membaca, menonton serial favorit, bersepeda, atau berjalan-jalan di taman, juga bisa meningkatkan rasa tenang.
Praktisi mindfulness dan emotional healing, Adjie Santoso, menjelaskan kecemasan yang tidak diatasi dapat masuk ke alam bawah sadar dan menjadi "bom waktu".
"Sebenarnya tubuh kita sudah memberi kode kalau kita sedang cemas. Contohnya relasi dengan orang sekitar jadi tidak baik, sedikit-sedikit marah, rasa bahagia yang terasa hambar karena tidak ada rasa lega, hingga produktivitas turun," ujarnya dalam talkshow yang digelar secara virtual oleh Danone Aqua beberapa waktu lalu.
Baca juga: Habis Karantina Timbul Kecemasan Sosial, Bagaimana Mengatasinya?
Sumber internal
Dalam mengatasi kecemasan, hal pertama yang harus dipahami adalah sumber kecemasan dan rasa galau sebenarnya berasal dari dalam diri kita sendiri.
"Cemas merupakan persoalan internal, dari dalam diri, bukan dari luar. Selama ini kita sering menuding kondisi di luar tubuh yang jadi penyebab cemas," kata Adjie.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.