Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Pakai Barang 'Kawe' Bukan Gangguan Jiwa, Ini soal Pilihan..."

Kompas.com - 02/07/2020, 14:34 WIB
Nabilla Tashandra,
Glori K. Wadrianto

Tim Redaksi

Ghianina menilai, gaya belanja semacam itu lebih didorong oleh hasrat untuk mengikuti tren dengan barang-barang yang -biasanya, mahal.

Namun pilihan memakai barang palsu bukan melulu karena konsumennya tidak mampu membayar, tapi -bisa jadi, karena tidak mau mengeluarkan dana yang besar.

"Itu lebih kepada temptation to be seen," sebut dia.

"Mereka lalu putuskan untuk beli barang yang lebih murah, bukan aslinya, tapi bentuknya sama saja. Jadi, lebih mengikuti tren, dan untuk diterima di lingkungan sosial," kata dia.

Gangguan jiwa?

Pilihan semacam ini menurut Ghianina, belum termasuk kategori gangguan jiwa.

"Kalau gangguan jiwa lebih ke arah shopaholic, itu ke ranah adiksi dan beda cerita," sebut dia.

Ghianina menjelaskan, kondisi yang sudah tidak normal adalah ketika seseorang sudah mulai berani membeli barang yang tak masuk akal dalam ukuran tertentu.

"Misal punya uang berapa, lalu kamu enggak mikirin uangnya gimana, untuk apa keperluannya, jadi impulsive buying banget," sebut Ghianina.

Baca juga: Beli Brompton Harga Rp 200 Juta, Gangguan Jiwa?

Ghianina mencontohkan ketika ada seseorang yang begitu terobsesi terhadap sebuah barang, hingga mengganggu kehidupannya.

"Misal mau beli satu barang kepikiran sampai lama, kayak 'salah banget nih kalau enggak beli', padahal sebenarnya enggak perlu."

"Jadi sampai kebawa pikiran, sampai berkorban uang, waktu, dan tenaga dalam proses shopping-nya ini, itu sudah considered addiction," sebut dia.

Alasan sosial

Ghianina menjelaskan, dalam ukuran ideal keputusan membeli dan memilih suatu barang seharusnya tidak digerakkan oleh status ataupun dorongan sosial. 

"Harusnya pada saat membeli sesuatu juga berdasarkan kebutuhan, dan misalnya memang suka, punya minat, ketertarikan di situ, apakah barangnya memang digunakan?"

"Jadi pertimbangannya tidak hanya agar untuk diterima (di lingkungan sosial). kalau begitu enggak baik," kata dia.

Sebab, kata Ghianina, di saat latar belakang pemilihan tersebut keliru, maka pembelian barang pun para akhirnya bukan karena fungsi, tapi alasan lain di baliknya.

"Ketika trennya selesai akan ada lagi barang lain. Apalagi kalau tidak punya kapasitas untuk membeli tapi tetap memaksakan diri, itu kan tidak baik," ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com