KOMPAS.com - Minggu-minggu terakhir ini isu sengit nan panas berputar sekitar krisis kesehatan dan pendapatan. Di awal Maret, perilaku ‘santuy’ proteksi pandemi masih membela sektor ekonomi: bahkan ada wacana genjot turisme di kala negri-negri lain menutup diri.
Tadinya saya berpikir, ini upaya kejar tayang mengisi pundi-pundi sebelum prahara besar sesungguhnya tiba. Tapi, siapa yang mau plesiran saat risiko terkena wabah bisa kapan saja dan di mana saja?
Mau tak mau akhirnya kita pun tak luput wabah. Saat negara-negara lain mereda, angka-angka ngeri di tanah air semakin tinggi.
Entah diatur atau tidak, faktanya ‘breaking news’ jumlah kasus positif nasional yang tadinya baru sekitaran 100 setiap hari sudah bikin senewen, lama-lama angka itu jadi biasa.
Baca juga: Pembiaran Norma Anyar yang Makin Ambyar
Pun saat ‘pecah rekor’ tembus di atas 1000 kasus per hari membuat jantung deg-deg-an awalnya, karena sempat berayun turun di angka 800-an, belakangan ini tahu-tahu temuan menjadi 1300 kasus dalam sehari tidak lagi membuat pemirsa televisi syok.
Inilah contoh istilah new normal yang diam-diam sudah kita jalani setiap sore.
Menjadi janggal dan ‘ada sesuatu yang kurang’ – jika jubir gugus tugas justru tidak tampil setiap sore mengumumkan kasus-kasus baru, entah di atas 1000 atau 5000 mungkin, jika rasa prihatin masih sebatas ‘biasa-biasa saja’.
Prihatin biasanya muncul jika harga-harga barang naik dan saldo rekening mulai menipis, nyaris hanya cukup untuk makan sehari-hari saja. Selama 3 bulan terakhir ini, saya hampir-hampir tidak pernah pegang uang kontan lagi.
Memilih belanja konsumsi pun sebatas media 2 dimensi: layar ponsel. Hingga pada akhirnya saya belajar banyak istilah-istilah transaksi online, salah satunya: ‘pre-order’.
Artinya kurang lebih: pesan di muka. Zaman saya kecil dulu disebut inden, yang sudah sah masuk dalam kamus besar bahasa Indonesia.
Dari sekian jenis bahan konsumsi, baru pertama kali saya mencoba ‘pre order’ makanan tradisional dari tempat aslinya, gegara teman anak saya yang asli anak Kupang.
Dan baru saja tadi pagi saya ‘mengintip’ unggahan status ‘whatsapp’ seorang ibu di Sumbawa yang menyajikan lobster panggang nan mewah untuk keluarganya.
Deg! Saya jadi mikir: untuk jadi sehat dan ekonomi kuat, di tengah pandemi begini – kita bisa punya strategi, ketimbang mewek berhari-hari.
Baca juga: Bagaimana Kita Pasca Pandemi, Tergantung Kita Hari Ini
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.