Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Pre Order: Adopsi Istilah Ekonomi yang Bisa Menyehatkan Negeri

Kompas.com - 04/07/2020, 21:01 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

 

Saya meyakini, ratusan kudapan tradisional di seluruh Nusantara sesungguhnya sehat-sehat saja dan jauh lebih bermanfaat ketimbang produk ultra proses yang membanjiri pasaran.

Kita hanya butuh generasi baru yang menjembataninya. Menggiatkan produksi pangan lokal, baik dalam bentuk mentah maupun jadi, sekaligus membangunkan gegap jaringan jasa layanan antar atau transportasi hingga ke pelosok, rasanya perlu mendapat perhatian khusus.

Kembali ke teman dari Kupang tadi: neneknya ahli membuat Se’i paling enak di Timor, sementara cucunya membuka jasa ‘PO’ melalui instagram yang pengikutnya banyak dan gantian saling pesan memesan.

Dalam 24 jam, Se’i matang asli Kupang dengan kemasan kedap udara siap dinikmati di Jakarta.

Sekali kirim, sang cucu bisa memproses sekian kilo daging Se’i. Transaksi mulus berkat mobile-banking.

Ketimbang kegilaan menghajar tubuh dengan asupan ala mall yang tak karuan, pandemi ini membuat kita semua bisa bangkit dan menciptakan normalitas baru yang lebih menguntungkan di segala bidang.

Saya masih lebih percaya dengan pengrajin daerah yang masih punya virtu, keutamaan, integritas dan memegang pakem dalam mengolah pangan – ketimbang orang kota yang sudah kepincut soal keuntungan dan hitung-hitungan balik modal.

Pun di daerah asal, semua bumbu dapur masih terawat baik di kebun.

Ibaratnya, orang Jawa pamali masak rawon dengan bumbu kemasan sementara kluwek masih melimpah ruah.

Baca juga: Sampai Kapan Manusia Bertahan Makan Seadanya?

Tinggal para pakar atau akademisi menelaah semua kekayaan nutrisinya. Jika perlu mengunggah resep tradisional untuk menunjukkan kekayaan nasional di dunia internasional.

Tanpa harus kebablasan lebay dengan jahe jadi empon-empon, kita bisa menempatkan jahe dan rempah tetap sebagai bagian dari bumbu masakan – yang bila divariasikan dengan isi masakannya, maka menjadi ‘functional food’ yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, mengapa orang-orang yang masih merawat tradisinya justru jarang sakit.

Orang Jawa justru menjadi diabetes dan mudah hipertensi begitu makanannya berubah setelah tinggal di kota.

Walaupun masih makan pecel atau garang asem, setiap pagi sarapannya smoothies, pekerjaan sibuk menjamu tamu di restoran atau di zaman pandemi begini malah tidak masak, karena waktu habis webinar dan layanan antar makanan menjadi andalan.

Hingga kini, saya masih tidak (mau) percaya bahwa masyarakat kita di pelosok bahkan di daerah 3T (tertinggal, terluar, terdepan) bisa mengalami masalah malnutrisi atau anak dengan gizi buruk.

Baca juga: Dipaksa, Terpaksa, Lalu Bisa, Kemudian Biasa hingga Jadi Budaya

Pemberdayaan tidak selamanya membuat mereka ‘diberi makan versi orang kota’. Justru, dengan apa yang secara lokal mereka miliki, pemberdayaan adalah bicara soal penghargaan.

Sayangnya, mereka lebih terpapar dengan gaya hidup dan pola konsumsi orang-orang kota yang sudah sarat penyakit aneh-aneh.

Lebih mengenaskan lagi, para nelayan kita yang rajin menangkap hasil laut, produk yang paling mahal di dunia, karena ketidaktahuannya mereka akhirnya cuma sebatas sebagai ‘tukang tangkap dan jual’ – itu pun lewat tengkulak.

Ikan-ikan terbaik hingga ketimun laut yang tinggi gizi, semua menjadi konsumsi orang asing di tanah seberang.

Padahal, tangkapan itu jika sebagian jadi konsumsi sehari-hari, bukan hanya sekadar isi perut terjamin, tapi masa depan dan kecerdasan anak-anak tak perlu jadi masalah stunting lagi.

Bagi kelompok masyarakat seperti itu, jenis pemberdayaannya tentu bukan melalui pembagian biskuit atau sembako.

Tapi, menjadikan mereka mencintai hasil tangkapannya sebagai berkat dari surga, bukan untuk dijual demi cicilan motor atau beli rokok, melainkan menghasilkan keturunan cerdas, tulang punggung negara dan bangsa yang besar.

Baca juga: Demi Kesehatan, Tingkatkan Kupasan dan Tinggalkan Kemasan

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rekomendasi untuk anda
27th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com