Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Pre Order: Adopsi Istilah Ekonomi yang Bisa Menyehatkan Negeri

Kompas.com - 04/07/2020, 21:01 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com - Minggu-minggu terakhir ini isu sengit nan panas berputar sekitar krisis kesehatan dan pendapatan. Di awal Maret, perilaku ‘santuy’ proteksi pandemi masih membela sektor ekonomi: bahkan ada wacana genjot turisme di kala negri-negri lain menutup diri.

Tadinya saya berpikir, ini upaya kejar tayang mengisi pundi-pundi sebelum prahara besar sesungguhnya tiba. Tapi, siapa yang mau plesiran saat risiko terkena wabah bisa kapan saja dan di mana saja?

Mau tak mau akhirnya kita pun tak luput wabah. Saat negara-negara lain mereda, angka-angka ngeri di tanah air semakin tinggi.

Entah diatur atau tidak, faktanya ‘breaking news’ jumlah kasus positif nasional yang tadinya baru sekitaran 100 setiap hari sudah bikin senewen, lama-lama angka itu jadi biasa.

Baca juga: Pembiaran Norma Anyar yang Makin Ambyar

Pun saat ‘pecah rekor’ tembus di atas 1000 kasus per hari membuat jantung deg-deg-an awalnya, karena sempat berayun turun di angka 800-an, belakangan ini tahu-tahu temuan menjadi 1300 kasus dalam sehari tidak lagi membuat pemirsa televisi syok.

Inilah contoh istilah new normal yang diam-diam sudah kita jalani setiap sore.

Menjadi janggal dan ‘ada sesuatu yang kurang’ – jika jubir gugus tugas justru tidak tampil setiap sore mengumumkan kasus-kasus baru, entah di atas 1000 atau 5000 mungkin, jika rasa prihatin masih sebatas ‘biasa-biasa saja’.

Prihatin biasanya muncul jika harga-harga barang naik dan saldo rekening mulai menipis, nyaris hanya cukup untuk makan sehari-hari saja. Selama 3 bulan terakhir ini, saya hampir-hampir tidak pernah pegang uang kontan lagi.

Memilih belanja konsumsi pun sebatas media 2 dimensi: layar ponsel. Hingga pada akhirnya saya belajar banyak istilah-istilah transaksi online, salah satunya: ‘pre-order’.

Artinya kurang lebih: pesan di muka. Zaman saya kecil dulu disebut inden, yang sudah sah masuk dalam kamus besar bahasa Indonesia.

Dari sekian jenis bahan konsumsi, baru pertama kali saya mencoba ‘pre ordermakanan tradisional dari tempat aslinya, gegara teman anak saya yang asli anak Kupang.

Dan baru saja tadi pagi saya ‘mengintip’ unggahan status ‘whatsapp’ seorang ibu di Sumbawa yang menyajikan lobster panggang nan mewah untuk keluarganya.

Deg! Saya jadi mikir: untuk jadi sehat dan ekonomi kuat, di tengah pandemi begini – kita bisa punya strategi, ketimbang mewek berhari-hari.

Baca juga: Bagaimana Kita Pasca Pandemi, Tergantung Kita Hari Ini

 

Saya meyakini, ratusan kudapan tradisional di seluruh Nusantara sesungguhnya sehat-sehat saja dan jauh lebih bermanfaat ketimbang produk ultra proses yang membanjiri pasaran.

Kita hanya butuh generasi baru yang menjembataninya. Menggiatkan produksi pangan lokal, baik dalam bentuk mentah maupun jadi, sekaligus membangunkan gegap jaringan jasa layanan antar atau transportasi hingga ke pelosok, rasanya perlu mendapat perhatian khusus.

Kembali ke teman dari Kupang tadi: neneknya ahli membuat Se’i paling enak di Timor, sementara cucunya membuka jasa ‘PO’ melalui instagram yang pengikutnya banyak dan gantian saling pesan memesan.

Dalam 24 jam, Se’i matang asli Kupang dengan kemasan kedap udara siap dinikmati di Jakarta.

Sekali kirim, sang cucu bisa memproses sekian kilo daging Se’i. Transaksi mulus berkat mobile-banking.

Ketimbang kegilaan menghajar tubuh dengan asupan ala mall yang tak karuan, pandemi ini membuat kita semua bisa bangkit dan menciptakan normalitas baru yang lebih menguntungkan di segala bidang.

Saya masih lebih percaya dengan pengrajin daerah yang masih punya virtu, keutamaan, integritas dan memegang pakem dalam mengolah pangan – ketimbang orang kota yang sudah kepincut soal keuntungan dan hitung-hitungan balik modal.

Pun di daerah asal, semua bumbu dapur masih terawat baik di kebun.

Ibaratnya, orang Jawa pamali masak rawon dengan bumbu kemasan sementara kluwek masih melimpah ruah.

Baca juga: Sampai Kapan Manusia Bertahan Makan Seadanya?

Tinggal para pakar atau akademisi menelaah semua kekayaan nutrisinya. Jika perlu mengunggah resep tradisional untuk menunjukkan kekayaan nasional di dunia internasional.

Tanpa harus kebablasan lebay dengan jahe jadi empon-empon, kita bisa menempatkan jahe dan rempah tetap sebagai bagian dari bumbu masakan – yang bila divariasikan dengan isi masakannya, maka menjadi ‘functional food’ yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, mengapa orang-orang yang masih merawat tradisinya justru jarang sakit.

Orang Jawa justru menjadi diabetes dan mudah hipertensi begitu makanannya berubah setelah tinggal di kota.

Walaupun masih makan pecel atau garang asem, setiap pagi sarapannya smoothies, pekerjaan sibuk menjamu tamu di restoran atau di zaman pandemi begini malah tidak masak, karena waktu habis webinar dan layanan antar makanan menjadi andalan.

Hingga kini, saya masih tidak (mau) percaya bahwa masyarakat kita di pelosok bahkan di daerah 3T (tertinggal, terluar, terdepan) bisa mengalami masalah malnutrisi atau anak dengan gizi buruk.

Baca juga: Dipaksa, Terpaksa, Lalu Bisa, Kemudian Biasa hingga Jadi Budaya

Pemberdayaan tidak selamanya membuat mereka ‘diberi makan versi orang kota’. Justru, dengan apa yang secara lokal mereka miliki, pemberdayaan adalah bicara soal penghargaan.

Sayangnya, mereka lebih terpapar dengan gaya hidup dan pola konsumsi orang-orang kota yang sudah sarat penyakit aneh-aneh.

Lebih mengenaskan lagi, para nelayan kita yang rajin menangkap hasil laut, produk yang paling mahal di dunia, karena ketidaktahuannya mereka akhirnya cuma sebatas sebagai ‘tukang tangkap dan jual’ – itu pun lewat tengkulak.

Ikan-ikan terbaik hingga ketimun laut yang tinggi gizi, semua menjadi konsumsi orang asing di tanah seberang.

Padahal, tangkapan itu jika sebagian jadi konsumsi sehari-hari, bukan hanya sekadar isi perut terjamin, tapi masa depan dan kecerdasan anak-anak tak perlu jadi masalah stunting lagi.

Bagi kelompok masyarakat seperti itu, jenis pemberdayaannya tentu bukan melalui pembagian biskuit atau sembako.

Tapi, menjadikan mereka mencintai hasil tangkapannya sebagai berkat dari surga, bukan untuk dijual demi cicilan motor atau beli rokok, melainkan menghasilkan keturunan cerdas, tulang punggung negara dan bangsa yang besar.

Baca juga: Demi Kesehatan, Tingkatkan Kupasan dan Tinggalkan Kemasan

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com