JAKARTA, KOMPAS.com - Minyak esensial atau minyak atsiri adalah ekstrak minyak beraroma harum yang didapat dari hasil penyulingan tanaman, bunga, akar, kayu, atau biji buah.
Kini banyak orang menggunakan minyak esensial untuk berbagai keperluan, seperti untuk relaksasi, menenangkan pikiran, campuran parfum, bahkan menjadi obat penawar penyakit.
Salah satu merek minyak esensial produksi dalam negeri yang dikenal adalah Nares, yang memproduksi setidaknya 20 macam minyak dari berbagai tanaman.
Selain dipasarkan di Indonesia, saat ini Nares juga diekspor ke berbagai perusahan kosmetik, parfum, farmasi dan makanan di Eropa, dan banyak diminati pembeli dari Perancis, Spanyol dan Jerman.
Namun siapa sangka produksi minyak ini berawal dari kesulitan ekonomi yang dialami pendirinya, Khafidz Nasrullah, saat kehabisan uang dan terpaksa pulang kampung.
"Saya anak buruh tani miskin dengan kehidupan serba kekurangan. Bapak dan ibu saya adalah buruh tani yang hanya punya ladang sangat kecil. Saya tahu betul bagaimana nasib para petani dengan kehidupan miskin dan serba kekurangan," ujarnya saat bercerita pada Kompas.com.
Meski sulit secara ekonomi, Khafidz termasuk beruntung dibanding anak buruh tani lainnya, karena ia bisa melanjutkan sekolah ke SMA.
Sebagai anak desa, cita-citanya sebenarnya sangat sederhana, ia hanya berharap bisa bekerja di tempat cuci cetak foto di kecamatan, agar bisa membantu ekonomi keluarga.
Namun setelah lulus SMA tahun 2006, nasib berkata lain. Orangtuanya berharap agar Khafidz bisa lanjut kuliah, sehingga mereka menjual 2 ekor kambing seharga Rp 1,4 juta agar anaknya bisa masuk perguruan tinggi.
Khafidz pun mendaftar dan diterima di UIN Yogyakarta, Jurusan Teknik Industri. Untuk bisa bertahan hidup di Jogja, ia kerja serabutan mulai dari tukang angkat galon, membantu orang pindah kos, mengecat rumah dan lainnya.
"Semester ke-tiga saya mulai jualan angkringan dengan modal Rp 500 ribu pinjaman teman kos dan menyewa gerobak," kata Khafidz.
Daerah Jawa Tengah, terutama sekitar Jogja dan Solo memang dikenal dengan angkringannya atau warung nasi kucing, di mana orang bisa berkumpul sambil ngopi atau makan.
"Dari jualan angkringan di seputar kos dan kawasan kampus, saya bisa bayar kos dan bayar kuliah, sehingga saya menjalaninya selama hampir 3 tahun."