Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Orangtua Harus Tahu, Ini Efeknya Jika Terlalu Sering Marah pada Anak

Kompas.com - 23/07/2020, 21:29 WIB
Bestari Kumala Dewi

Editor

 

Ibu ternyata lebih stres daripada ayah

Meskipun hal ini dapat terjadi pada ibu dan ayah, Ibu lebih rentan terhadap stress, karena mereka cenderung menjadi pengasuh utama, jelas Christine Wong, pendiri dan pelatih kepala psikotrauma di Rhemaworks International, Singapura.

Fokus pada survei Keluarga terhadap 1.076 ibu di bulan Maret dan bulan April lalu membuktikan hal ini.

Enam puluh persen ibu yang disurvei oleh badan amal setempat, menilai tingkat stres mereka adalah 7 dari 10. Ini adalah peningkatan yang nyata dari 52 persen dalam survei tahun lalu.

Laporan tersebut mencatat, para ibu juga berisiko terhadap kesehatan emosi dan mental yang buruk, karena lebih dari 6 dari 10 responden tidur kurag dari enam jam.

Baca juga: Ingin Menjadi Orangtua yang Lebih Baik? Penuhi Dulu Kebutuhan Diri

Wong mengatakan, orangtua harus mewaspadai ‘bendera merah emosional’, di antaranya menetapkan terlalu banyak aturan dan emosi ketika anak tidak mematuhinya, terlalu mengontrol dan menggunakan metode seperti berteriak dan memukul, serta menyalahkan anak atas kelakuan buruk.

"Yang benar adalah, itu bukan kesalahan anak. Mereka hanyalah anak kecil. Kita semua tahu ini. Namun kita secara tidak sadar mengharapkan mereka memiliki kapasitas intelektual dan perilaku orang dewasa," katanya.

Masalahnya lanjut Wong, orangtua dapat menimbulkan trauma emosional yang tidak disadari ketika mereka menyebut nama anak-anak, kemudian menyebut mereka nakal atau bodoh, atau membuat mereka merasa bersalah.

“Seiring waktu, trauma tersebut terus tertanam dalam sistem kepercayaan diri anak. Ketika mereka menjadi ibu atau ayah kelak, mereka akan mengulangi pola perilaku negatif orangtua mereka, dan itu menjadi lingkaran setan,” jelas Wong.

Baca juga: 5 Cara Menjadi Orangtua dengan Penuh Kesadaran

Bagaimana stress orangtua berpengaruh pada anak

Lim menjelaskan bahwa dalam jangka pendek, anak-anak yang mengalami kekerasan emosional dapat semakin melekat pada orangtua mereka, takut bahwa mereka akan ditinggalkan. Mereka juga dapat bertindak lebih.

"Dalam jangka panjang, jika kekerasan emosional terus berlanjut, anak kemungkinan tumbuh dengan harga diri yang rendah, kecemasan, depresi, dan gangguan kepribadian," katanya.

Pong menambahkan, bahwa meskipun banyak anak yang tangguh dan dapat mengatasi kesulitan, ini seharusnya tidak menjadi alasan bagi orangtua untuk menormalkan apa yang berpotensi menjadi kekerasan emosional.

“Sebagai gantinya, kita dapat mengubah 'momen pengasuhan yang gagal' menjadi momen yang dapat dipelajari untuk anak-anak kita dan diri kita sendiri,” dia menjelaskan.

“Itu dimulai dengan orang dewasa yang mengakui bagaimana mereka lepas control atau bereaksi berlebihan, meminta maaf kepada anak mereka atas reaksi / perilaku yang tidak seharusnya, dan bersama anak menentukan cara yang lebih baik untuk mengatasi stres, ketegangan, atau perilaku buruk bersama ketika itu terjadi kemudian," pungkas Pong.

Baca juga: Kewajiban Orangtua Terhadap Anak, Sudahkah Kita Penuhi?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com