Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Akankah Konsumsi Pangan Lokal Bernasib Kontroversial?

Kompas.com - 28/07/2020, 09:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

 

Mungkin negri kita sudah terlalu lama terlena dengan ‘edukasi berat sebelah’, yang diserahkan mentah-mentah ke pengusaha dan industri, sehingga untuk mengembalikan peran ke porsinya masing-masing menjadi sulit dan cenderung menimbulkan konflik kepentingan.

Beberapa tahun yang lalu, saya pernah menegur keras dan mengajukan keberatan secara pribadi kepada produsen minuman yang begitu gegabah menampilkan iklan produk di televisi.

Bayangkan dampaknya jika anak-anak meniru kelakuan para bocah bermuka cemberut saat disajikan sayur dan buah, tapi mendadak riang ketika produk kemasan muncul dan mereka tinggal tenggak dan sedot!

Komisi Penyiaran Indonesia, Yayasan Lembaga Konsumen, apalagi Kementerian-kementerian terkait diam seribu bahasa.

Peraturan Pemerintah tentang Label Iklan Pangan yang ‘terbaru’ berasal dari tahun 1999, 21 tahun yang lalu, saat industri dan pengusaha belum merambah dunia maya dan pekerjaan “endorser atau influencer” belum dikenal. Kecuali bintang iklan yang kita tahu wajahnya itu itu lagi.

Baca juga: Makanan Peranakan: Tradisi, Esensi atau Gengsi?

Banyak kelemahan yang sudah waktunya dibenahi dari peraturan lawas yang sudah tidak sesuai jaman lagi.

Melarang bintang iklan balita misalnya, kecuali jika produk tersebut diperuntukkan untuk golongan usia balita.

Ini menjadi peluang emas bagi industri produk pangan dan minuman kemasan yang konsumennya bayi dan balita, walaupun bukan dalam bentuk pengganti ASI.

Sebaliknya, kalimat yang sama mengandung tanda tanya, mengingat balita adalah usia emas anak belajar tentang makan dan makanan, yang apabila orangtua salah paham, maka ibarat salah menentukan pilihan, penyesalannya sepanjang jalan.

Dua puluh satu tahun yang lalu, kita belum mengenal istilah promosi silang, yang dipakai sebagai strategi pemasaran produk yang berkaitan dengan ibu hamil, menyusui hingga anaknya yang sedang tumbuh kembang.

Salah satu hasil studi yang dimuat dalam The American Journal of Public Health 10 tahun yang lalu, berjudul “Television Food Advertising to Children: A Global Perspective” oleh Bridget Kelly dan kawan-kawan menunjukkan, anak-anak kita terpapar 20 iklan pangan saat mereka menonton acara anak-anak per jam-nya.

Baca juga: Bumbu Baru Itu Bernama Penyedap dan Aneka Kecap

Sedangkan, Korea Selatan hanya mengizinkan 5 iklan per jam tayang dan televisi RRT menayangkan paling banyak 8 iklan per jam tayang acara untuk anak-anak. Itu studi 1 dekade yang lalu. Sekarang?

Betapa ngeri membayangkannya. Iklan adalah bagian dari hipnosis terselubung, yang muncul di saat otak bekerja pada gelombang yang amat mudah dipengaruhi.

Bahkan lagu pendek berupa ‘jinggle’ begitu mudahnya menancap secara otomatis. Sehingga, anak-anak bisa menirukannya, mengulanginya tanpa sadar saat mereka sedang gembira atau sekadar bersiul saat mandi.

Lugunya publik Indonesia, membuat peluang besar bagi siapa pun yang ingin membangun investasi dan usaha di bidang makanan dan minuman.

Apalagi dengan menyitir program pemerintah, yang kelihatannya seakan-akan memberi dukungan penuh – faktanya berakhir kontra produktif.

Menyehatkan bangsa, meningkatkan status gizi anak-anak kita tidak boleh meninggalkan ‘aturan kehidupan’.

Fitrah dan kodratnya sumber pangan harus sebisa mungkin dikonsumsi dengan cara-cara wajar atau diproses seminimal mungkin dalam bentuk pengolahan rumah tangga, sudah menjadi fokus perhatian para pakar dan akademisi di berbagai negara.

Pun penggunaan imbuhan pada makanan alias food additives, khususnya dalam pangan anak tumbuh kembang dikritisi keras sebagai sumber masalah adiksi, karena tujuannya memang untuk menciptakan kecanduan.

Olahan produk pangan tidak hanya dilakukan dalam skala industri raksasa. Pada level rumah tangga atau Usaha Mikro Kecil Menengah juga meniru proses produksi dan cara olah yang mirip.

Membuat produk konsumsi lebih tahan lama, diracik dengan rasa sensasional lebih dari biasa, hingga dikemas menarik mata.

Baca juga: Bhineka Literasi Nutrisi Jadi Ancaman Integrasi

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com