Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Akankah Konsumsi Pangan Lokal Bernasib Kontroversial?

Kompas.com - 28/07/2020, 09:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

 

Tidak banyak pakar dan akademisi yang berteriak tentang susutnya nilai gizi, begitu naiknya nilai ekonomi.

Jangan salah paham, saya bukan penentang industri produk pangan. Kita tidak boleh menafikan keberadaan dan kontribusi mereka dalam pembangunan.

Yang saya prihatinkan adalah literasi kebablasan. Di negara-negara yang lebih maju dan kesadaran gizi sudah mumpuni, mulai sejak usia dini anak-anak telah terbiasa dengan pangan utuh yang cukup diolah di dapur keluarga.

Pun sekolah-sekolah mengajarkan bekal dan kantin sehat yang menyediakan makanan segar.

Betapa menyedihkannya jika anak-anak kita mendapat sumbangan roti yang terigunya saja impor, apalagi biskuit dengan pelbagai rasa sumbangan industri yang sarat gula.

Pun seandainya kita beralih ke sumber pangan lokal, akankah anak-anak kita sudi makan jagung dan ubi rebus, apabila orangtuanya berasumsi itu makanan kuli dan orang miskin?

Padahal, di salah satu gerai kopi internasional ternama di Seoul, masih menyajikan ubi dan jagung rebus di samping deretan croissant.

Baca juga: Teknologi Bisa Dipercepat, Sementara Kehidupan Harus Tetap Taat Kodrat

Membahas kebosanan dan cara olah yang itu-itu lagi, amatlah salah jika kita mengalihkannya dengan cara proses tingkat tinggi dan penambahan bahan yang justru merusak nilai gizi.

Barangkali, memang anak-anak perlu diajar tentang makna ‘bosan’. Sebab, mereka tidak bosan menonton video yang itu-itu lagi, mereka juga tidak bosan makan nasi putih yang sama. Mereka juga tidak boleh bosan belajar dan bikin pe-er bukan?

Bayangkan, jika alasan bosan itu terbawa hingga usia dewasa dan berkembang menjadi bosan dengan pekerjaan atau perkawinan.

Anak-anak ini perlu dididik makna kesederhanaan yang membawa kekayaan. Bahwa sayur bayam yang cukup disayur bening lebih kaya gizi ketimbang keripik bayam yang sudah miskin antioksidan, sekaligus tinggi minyak trans yang buruk bagi kesehatan.

Bahwa lalap sayur dengan sambal teman makan ikan, jauh lebih bergizi ketimbang sok-sokan mengunyah salad diguyur saus penuh emulsifier, racikan bumbu asing, dan tentunya rasa manis (yang membuat salad-nya bisa tertelan lidah melayu).

Kembali ke pangan lokal ibaratnya kembali pulang ‘ke rumah’. Di rumah, tak ada yang asing. Semua terasa hangat dan familier, bagaikan menemukan akar yang hilang.

Seperti nikmatnya gerontol jagung bertabur kelapa, atau sawut ubi jalar dengan irisan gula jawa.

Baca juga: Pre Order: Adopsi Istilah Ekonomi yang Bisa Menyehatkan Negeri

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com