Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gagal Paham Soal Nutrisi Bisa Sebabkan Anak Stunting

Kompas.com - 03/08/2020, 12:44 WIB
Lusia Kus Anna

Penulis

KOMPAS.com – Stunting merupakan kondisi anak yang gagal tumbuh dan gagal kembang sehingga anak akan menjadi pendek dan kecerdasannya rendah.

Penyebab utamanya adalah kegagalan memahami soal nutrisi, yang dimulai sejak usia remaja, kehamilan, hingga 1.000 hari pertama kehidupan (HPK) bayi.

Survei Status Gizi Balita 2019 menunjukkan, prevalensi stunting anak Indonesia masih 27,67 persen. Kondisi ini merupakan ancaman serius terhadap daya saing bangsa karena stunting bertahan hingga tiga generasi dari anak bersangkutan.

Menurut pakar nutrisi Dr. Rita Ramayulis, DCN, M.Kes, stunting terjadi akibat kekurangan gizi kronis secara akumulatif.

“Stunting bukanlah kasus akut, melainkan keadaan yang terjadi sedikit demi sedikit, secara akumulatif,” katanya dalam acara diskusi media yang diadakan oleh Tanoto Foundation (29/7).

Ia memaparkan, kondisi pada ibu hamil akan memengaruhi kondisi ibu saat melahirkan nanti. Status gizi saat kehamilan juga akan memengaruhi kondisi bayi usia 0-6 bulan, 7-11 bulan, lalu 12-24 bulan.

“Perjalanan inilah yang terjadinya stunting. Kita tidak boleh absen memerhatikan gizi dalam 5 kelompok tadi,” ujar Ketua Indonesia Sport Nutrition Association ini.

Baca juga: PBB: Hampir 7 Juta Anak Terancam Stunting Akibat Pandemi Covid-19

Rita menyayangkan, banyak perilaku selama 1.000 HPK yang meningkatkan kerentanan terjadinya stunting. Misalnya, masih banyak ibu hamil yang tidak paham soal stunting sehingga tidak melakukan pencegahan sejak awal.

Sebagian ibu merasa bahwa kehamilan adalah kondisi biasa saja, jadi tidak memperbaiki pola makannya atau justru makan karbohidrat berlebihan.

Saat melahirkan, masih banyak ibu yang tidak melakukan IMD (inisiasi menyusui dini). Ada pula yang melakukan tapi caranya salah. Bayi hanya diletakkan di area puting susu ibu, dan dianggap selesai.

Periode menyusui

Saat bayi berusia 0-6 bulan, tantangannya berbeda lagi. Masih banyak ibu yang tidak memberikan kolostrum atau ASI pertama.

“Karena berwarna kuning sehingg dianggap kotor, lalu dibuang,” kata Rita.

ilustrasi ibu menyusui bayi.SHUTTERSTOCK ilustrasi ibu menyusui bayi.

Sebagian ibu masih menganggap bahwa ASI adalah minuman dan bukan makanan, sehingga bayi harus diberi makanan lain agar kenyang. Banyak pula ibu yang tidak mengerti arti tangisan bayinya sendiri.

“Tiap kali bayi menangis dianggap kelaparan. Begitu bayi menangis tapi ASI sudah habis, dianggapnya bayi masih lapar sehingga diberi makanan dan minuman lain, biasanya minuman manis,” kata Rita.

Baca juga: Wajib Tahu, Ini Kebutuhan Nutrisi Ibu Hamil dan Ibu Menyusui

Kendala lain, ibu sering tidak memiliki praktik menyusui yang baik, sehingga puting menjadi luka. Sebagian ibu tidak memahami tahapan pengeluaran ASI. Alhasil bayi hanya mendapat karbohidrat dan protein dari ASI tapi tidak mendapat lemak.

Belum lagi, suami dan anggota keluarga lain tidak ikut terlibat dalam mengurus bayi sehingga ibu kecapekan sendiri.

Pengalaman Rita di lapangan menemukan, masih banyak ibu yang tidak mengetahui aturan pemberian MPASI (makanan pendamping ASI) untuk bayi berusia 7-11 bulan.

“Sering kali ibu hanya berpatokan pada gigi bayi, bukan usianya. Ketika bayi belum punya gigi, MPASI yang diberikan hanya air saja, dan begitu giginya sudah tumbuh, diberi makanan padat,” tutur Rita.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com