PANDEMI yang kita alami selama ini telah mengubah segala sesuatu. Imbasnya sudah melebar ke mana-mana, termasuk ranah rumah tangga.
Ada cerita satu keluarga yang tinggal di wilayah Jabodetabek. Saat pandemi sang suami mendadak WFH (work from home) yang dijalaninya berbulan-bulan. Bukan atas kehendak sendiri, tetapi atas anjuran kantor. Sang suami hanya wajib masuk seminggu sekali saja.
Sedangkan sang istri selama ini sebagai ibu rumah tangga. Pekerjaan sehari-hari mengurus dua anak yang masih duduk di sekolah dasar, memasak, cuci piring, mencuci baju, mengepel, menyapu, bahkan setiap pagi mengantar kedua anaknya ke sekolah memakai motor (sebelum pandemi).
Setelah pandemi, tugas sang istri bertambah lagi harus menemani anak sekolah di rumah (daring, online). Repotnya, keluarga ini tidak punya pembantu (entah apa alasannya). Semua tugas-tugas ini dikerjakan sang istri setiap hari.
Membantu
Tetapi sejak suaminya WFH, yang berarti nyaris setiap hari di rumah, sang istri mulai mengeluh. Sang istri kesal melihat suaminya dari pagi hingga sore hanya memelototi laptop. Bahkan tak jarang suaminya ikut webinar sampai tertawa-tawa.
Istrinya menilai suaminya tidak peka. Ia menginginkan agar suaminya ikut membantu pekerjaan di rumah.
Semula suaminya keberatan karena di rumah pun ia mengerjakan pekerjaan kantor sesuai target, bukan nganggur. Tetapi, istrinya tetap meminta suaminya meringankan beban pekerjaan di rumah yang banyak. Keluhnya, bukan hanya capai, tetapi merasa jenuh.
Akhirnya suaminya mengalah, ia ikut membantu cuci piring, menyapu lantai, dan pekerjaan lain yang dapat dikerjakan, seperti memasak nasi.
Tetapi suaminya merasa aneh, selama ia bekerja di kantor, istrinya sanggup melakukan semua sendiri. Mengapa saat ia WFH minta dibantu pekerjaan rumah?
Bijaksana
Keputusan suaminya pada sisi lain dapat dianggap bijaksana. Ia bersikap terbuka (aksesibilitas) dan responsif terhadap keluhan istrinya.
Suaminya dalam hal ini telah menunjukkan sikap empati, yaitu merasakan beban yang dirasakan istrinya. Memang pekerjaan rumah tak pernah ada habisnya, banyak pernak-pernik yang harus diselesaikan.
Menurut riset dari peneliti University of North Carolina terhadap 1.364 kaum ibu, menjelaskan bahwa ibu-ibu rumah tangga mudah stres ketimbang ibu-ibu yang bekerja di kantor.
Kondisi mental ibu rumah tangga cenderung mudah terkena depresi lebih tinggi, merasa terisolasi, kurang waktu untuk diri sendiri (me time).