Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Ketika Bukan Orang Kesehatan Bicara soal Kesehatan

Kompas.com - 25/08/2020, 20:11 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com - Sejak pandemi melanda, masalah kesehatan mendadak mencuat menjadi ‘trending topic’ di seantero negri.

Seakan-akan semua orang berusaha ingin tahu apa yang terjadi dari sumber yang bisa dipercaya hingga sumber yang asal bicara.

Di saat yang sama, penyakit satu ini menular begitu hebatnya sampai menciptakan kengerian padahal ‘case fatality rate’ alias angka kematian dibanding penderita terkonfirmasi berkisar antara 3-5%, masih jauh di bawah penyakit menular lainnya yang berkeliaran bersama – sebutlah TBC, misalnya yang mencapai 16%.

Baca juga: Sharon Stone Ajak Pakai Masker Usai Kakaknya Terinfeksi Covid-19

Barangkali karena statusnya pandemi, gejalanya akut bahkan proses penderitanya meninggal begitu mengerikan, maka Covid-19 berhasil menarik perhatian ketimbang (sekali lagi) TBC yang sudah kehilangan pamor.

TBC dikenal sebagai penyakit kronik. Hari ini terinfeksi, gejala mungkin baru muncul beberapa minggu ke depan – itu pun tidak spesifik. Bisa jadi tanpa gejala juga.

Penderita cenderung abai, masa bodoh, hingga saat harus foto thorax karena mau melamar kerja atau aplikasi visa mahasiswa di negri orang baru ketahuan: Paru-parunya ada ‘bercak’. Flek, kata orang – yang mau menghindar dari sebutan TBC.

Begitulah. Orang Indonesia lebih takut dengan sesuatu yang menghantam kuat akut hingga langsung ambruk, ketimbang masalah ‘kecil’ yang menggerogoti diam-diam, kronik istilahnya, tapi berujung kematian dan nestapa – yang sudah terlalu sulit untuk diurai benang kusutnya apabila yang kronik ini sudah jadi ‘borok kehidupan menahun’.

Makanya Covid-19 jauh lebih menakutkan ketimbang TBC, anak kurus lebih memalukan buat ibu bapaknya ketimbang stunting, muntah diare lebih mengerikan ketimbang makan minum asyik menyisakan hipertensi, diabetes, stroke dan sindroma metabolik.

Yang menarik, apabila panggung utama penyakit seperti pandemi ini mulai membuka peluang panggung-panggung pendukung.

Jadi, selain dokter yang bicara, selalu akan ada banyak orang yang juga merasa terpanggil untuk 'memeriahkan panggungnya' sendiri-sendiri.

Baca juga: Benarkah Cegukan Jadi Gejala Baru Infeksi Covid-19?

Amat menarik bagaimana saat para penguasa panggung kecil-kecil ini mulai mengecek sound system. Alias berusaha merapat ke panggung utama, agar kelihatan dukungan suaranya dan letak sinerginya. Mulailah yang bukan orang kesehatan bicara soal kesehatan.

Barangkali perlu diingat, kami-kami ini sebagai calon dokter dulu digembleng dengan amat sangat keras, istilahnya sampai babak belur.

Mengocok otak, menempa tenaga, menjaga kestabilan jiwa – sebab selama proses pendidikan yang dihadapi bukan hanya pasien, tapi juga dokter-dokter super senior yang membuat isu medis menjadi isu emosional bagi para ko ass.

Mungkin terbiasa dengan situasi model begini, maka para dokter justru malas berkomentar di tengah riuhnya pandemi.

Akibatnya, yang makin terdengar seru justru mereka yang berada di panggung sebelah.

Seakan merekalah yang paling tahu tentang patofisiologi alias perjalanan suatu penyakit, dampak tindakan preventif promotif yang justru tak tepat sasaran, hingga memberikan harapan palsu tentang keajaiban eliksir anyar hingga akhirnya peta penanggulangan penyebaran infeksi makin ambyar.

Mereka yang bukan orang kesehatan akan dengan enaknya bertanya: jadi obatnya apa? jika ada masalah kesehatan muncul.

Baca juga: Pulih dari Pandemi: Saatnya Berubah atau Punah

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com