Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 29/08/2020, 08:06 WIB
Nabilla Tashandra,
Glori K. Wadrianto

Tim Redaksi

Sumber DW

KOMPAS.com - Diet keto adalah pola makan rendah karbohidrat dan tinggi lemak yang sangat populer di tengah masyarakat.

Idenya sederhana, kita cukup mengganti bahan bakar tubuh dari gula ke lemak.

Untuk diketahui, tubuh kita biasanya menggunakan glukosa atau gula untuk menghasilkan energi.

Setiap kali gula darah habis, tubuh akan beralih ke lemak sebagai sumber energi.

Baca juga: 5 Kiat Sederhana Merampingkan Pinggang Tanpa Diet Ketat

Kondisi di mana gula darah habis biasanya terjadi selama dan setelah olahraga, sedang berpuasa, atau kelaparan.

Dilansir dw.com, seperti halnya kelaparan yang berkepanjangan, diet keto membuat tubuh berada dalam keadaan yang disebut ketosis.

Pada keadaan itulah tubuh kehabisan lemak.

Ketika kita membatasi asupan gula secara drastis, tubuh akan dipaksa untuk menggunakan semua glikogen -bentuk gula yang tersimpan di hati.

Saat gula itu habis, tubuh akan membakar lemak untuk bahan bakar dan setelah beberapa saat memasuki keadaan ketosis.

Diperlukan waktu 2-4 hari untuk memasuki keadaan ketosis.

Ada beberapa tipe keto, salah satunya adalah diet keto standar (SKD) atau yang paling umum dijalani.

Gagasannya adalah membatasi asupan karbohidrat kurang dari 50 gram per hari.

Itu sama dengan 10 persen total asupan kalori harian kita. Sementara sisanya, terbagi untuk asupan protein 20 persen dan lemak 70 persen.

Bentuk keto lainnya bahkan lebih ketat, pembatasan karbohidratnya bisa mencapai dua persen, protein delapan persen, dan lemak 80 persen.

Padahal, anjuran konsumsi karbohidrat harian yang sehat untuk orang dewasa rata-rata berkisar 225-323 gram per hari, atau sama dengan 45-60 persen asupan kalori harian.

Perbedaannya begitu besar, bukan?

Baca juga: Mengapa Diet Keto Tak Efektif untuk Jangka Panjang?

Jika kita menjalani diet keto dan mengonsumsi karbohidrat berlebih, risikonya adalah kehilangan keadaan ketosis.

Selanjutnya, tubuh akan kembali membakar gula untuk bahan bakar, yang mana akan merusak diet.

Meski menjadi salah satu pola diet paling populer, namun sudah banyak pula studi dan literatur yang membahas mengenai risiko diet keto.

Jadi, apakah diet keto memiliki lebih banyak manfaat atau justru lebih banyak risikonya?

Menimbang manfaat dan risiko keto

Diet keto memang efektif untuk menurunkan berat badan, menjaga gula darah pada pasien diabetes, dan menurunkan tekanan darah dan trigliserida (tipe lemak).

Tetapi, tidak diketahui apakah penurunan berat badan tersebut secara langsung disebabkan oleh ketosis atau akibat mengurangi konsumsi gula dan kalori secara keseluruhan.

Atau, karena tingginya tingkat protein dalam diet keto standar yang membuat kita merasa kenyang lebih lama.

Ketika tubuh beralih dari gula ke lemak sebagai sumber energi, kondisi itu bisa menyebabkan gejala mirip flu yang dikenal sebagai "flu keto."

Gejalanya seperti sakit kepala, mual, dan kelelahan.

Flu keto tidak berbahaya bagi kebanyakan orang, dan biasanya sembuh dalam dua minggu.

Selain flu keto, efek samping lainnya adalah kram otot, bau mulut, dan sembelit.

Sembelit umum terjadi pada pelaku diet keto karena pola makan yang minim serat tinggi, seperti biji-bijian, buah-buahan dan sayuran.

Di sisi lain, memangkas asupan buah dan sayuran dapat menyebabkan kekurangan vitamin dan mineral.

Ahli gizi dari New York, Sarah Hamdan mengkhawatirkan masalah kesehatan jangka panjang yang mungkin muncul setelah seseorang menjalani diet keto.

Mulai dari peningkatan risiko penyakit hati, batu ginjal, osteoporosis, dan asam urat

"Badan keton diproduksi oleh hati. Itu bisa memberi tekanan pada hati, yang pada akhirnya bisa memunculkan penyakit hati."

"Kandungan protein yang tinggi juga terkadang bisa mempengaruhi ginjal kita," ungkap dia.

Penelitian menunjukkan, diet keto dapat meningkatkan kolesterol dan kadar protein C-reaktif yang diproduksi tubuh sebagai respons terhadap peradangan.

Baca juga: Wanita Ini Sukses Kendalikan Diabetes dengan Diet Keto dan Intermiten

Protein C-reaktif dikenal sebagai biomarker inflamasi.

Menurut Hamdan, peningkatan biomarker inflamasi sangat memprihatinkan karena peradangan bisa memberi banyak tekanan pada tubuh.

Kondisi tersebut berkaitan dengan banyak penyakit seperti penyakit jantung, diabetes dan obesitas.

Meski begitu, seorang profesor nefrologi di Rumah Sakit Universitas Cologne, Roman Müller mengatakan, setiap efek samping yang terjadi akan bergantung pada profil dari pelaku dietnya.

Müller bersama rekannya Dr. Franziska Grundmann melakukan penelitian terhadap efek diet keto sebagai pengobatan untuk penyakit ginjal.

"Itu bergantung jenis lemak yang terkandung dalam makanan dan pengaruhnya terhadap kolesterol dan hati, atau kemungkinan efek negatif dari asupan protein tinggi pada ginjal," kata Müller.

Hamdan juga menyoroti kaitan pola makan tinggi lemak jenuh, seperti daging tinggi lemak, mentega dan daging olahan, dengan peningkatan risiko penyakit jantung.

Menurut dia keterkaitan itu adalah sesuatu yang tak terbantahkan.

"Kombinasi makanan tinggi lemak dengan rendahnya konsumsi makanan padat nutrisi, seperti sayuran dan buah-buahan, dapat membahayakan kesehatan jantung dalam jangka panjang," kata dia.

Meski begitu, Müller mengatakan tidak ada data yang dapat diandalkan tentang potensi risiko kardiovaskular dari menjalani diet keto.

"Ada kontradiksi dalam data yang tersedia dari uji coba, misalnya mengenai faktor risiko seperti kolesterol jahat," kata Müller.

Baca juga: Turun Berat Badan 73 Kg dengan Diet Keto, Hanya 3 Kiatnya...

"Tapi diperkirakan, risiko apa pun akan bergantung pada jenis lemak yang digunakan dalam makanan mereka, serta kecenderungan genetiknya."

Menemukan diet paling tepat

Diet keto memang sangat populer, namun sebetulnya tidak berbeda jauh dari program penurunan berat badan lainnya.

Beberapa penelitian menemukan, pelaku diet keto bisa menurunkan berat badan sangat cepat di awal.

Namun penurunan bobot sangat sedikit setelahnya, lebih sedikit dibandingkan dengan pola makan lainnya.

Faktanya, Müller mengatakan, tidak ada pola makan yang lebih baik daripada yang lainnya, jika fokus kita adalah menurunkan berat badan.

Rekan Müller, Grundmann menambahkan, diet ketat dapat mengacaukan metabolisme tubuh, bahkan jika kita sudah kembali ke kebiasaan makan lama.

Diet keto dianggap mirip dengan kebanyakan diet penurunan berat badan lainnya, di mana menghentikan diet tersebut dapat menyebabkan berat badan kembali secara signifikan.

Bicara mengenai diet keto, komunitas ilmiah sebetulnya masih kekurangan bukti.

Lalu, sejumlah ilmuwan mengatakan perlu lebih banyak penelitian sebelum menarik kesimpulan yang tegas.

Apa pun hasilnya, yang terbaik adalah berkonsultasi dengan dokter dan ahli gizi sebelum memulai diet untuk menemukan pola yang paling cocok untuk tubuh kita.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber DW
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com