Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 15/09/2020, 14:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Editor Wisnubrata

TULISAN ini terinspirasi dengan adanya polemik di medsos antara Eka Kurniawan dan Ivan Lanin, yang memperdebatkan tentang “kata” yang netral dan tidak netral.

Eka mengatakan bahwa “kata” tidak netral, sedangkan Lanin mengatakan bahwa “kata” itu netral.

Tetapi dalam kolom ini saya ingin mengupas lebih dari kata, yaitu “kuasa kata-kata” yang keluar dari mulut kita.

Apa yang kita ucapkan, baik yang positif maupun yang negatif kelak akan menjadi bumerang. Artinya, setiap kata-kata yang keluar secara sembrono atau takabur, bagaikan menabur angin menuai badai.

Kata-kata

Sering kejadian orangtua memarahi anaknya dengan kata-kata tajam: anak bodoh! Otakmu ada di mana sih, di dengkul? Tuh anak tetangga lebih pintar, tapi kamu kok bego amat sih! Malas belajar, main mulu! Dasar anak bandel!

Kata-kata negatif yang meluncur deras dengan penuh emosi ini, tumpah begitu saja tanpa memperhitungkan efek psikologis anak.

Kata-kata inilah yang dimaksudkan dengan kuasa kata-kata. Kata-kata negatif yang disemprotkan pada anaknya akan terekam pada diri anak tersebut.

Anak yang sering dibilang malas atau bodoh, cenderung menjadi anak yang pasif, kurang kreatif, tidak bersemangat, bahkan dapat menjadi pribadi yang kurang percaya diri.

Orangtua yang sering mengatakan anaknya anak bandel, lama kelamaan anak itu akan berperilaku bandel. Bahkan, disinyalir suka melawan, membangkang.

Oleh karena itu, kata-kata tajam bernuansa negatif yang keluar dari mulut orangtua kepada anak, bagai menempel stiker pada dahi anak tersebut.

Kalau menurut ahli sosiologi Edwin L. Lemert (1912-1996) istilahnya labelling, cap, julukan, atau stigma.

Walaupun umumnya labelling diberikan oleh masyarakat atau lingkungan sekitar, tetapi apa yang dilakukan orangtua dalam hal ini dikategorikan sebagai labelling juga.

Labelling yang turun dari atas ke bawah, dari orangtua kepada anak, dapat menjadi kenyataan. Ucapan buruk orangtua terhadap anak dapat disamakan seperti kutuk. Kutuk seumpama awan hitam yang terus bertengger di atas kepalanya.

Pernah saya mendengar seorang tetangga, bapaknya begitu marah kepada anak lelaki yang tak tamat SMA.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com