Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 18/09/2020, 16:59 WIB
Nabilla Tashandra,
Glori K. Wadrianto

Tim Redaksi

Sumber

KOMPAS.com - Tingkat keparahan dalam infeksi Covid-19 bisa sangat bervariasi.

Dalam beberapa kasus, pengidap tidak menunjukkan gejala sama sekali. Namun pada kasus lainnya bisa sampai mengancam nyawa.

Profesor Ilmu Biomedis dari Universitas Manchester, Inggris, Sheena Cruickshank, menulis di laman the Conversation tentang hal ini.

Dia menyebut, ada banyak faktor yang berkontribusi terhadap seberapa parah seseorang dengan infeksi Covid-19 di tubuhnya.

Baca juga: Membedakan Gejala Pilek, Flu dan Covid-19

 

Mulai dari akses layanan kesehatan, paparan pekerjaan, hingga risiko lingkungan seperti polusi.

Namun, ada satu kondisi yang menyebabkan beberapa orang dari kelompok tersebut sakit lebih parah, yakni peradangan.

Secara khusus, risiko yang terkait dengan diabetes, obesitas, usia, dan jenis kelamin, berkaitan dengan sistem kekebalan tubuh dengan fungsi tak optimal ketika berhadapan dengan virus.

Jadi, faktor apa saja yang dapat berkontribusi terhadap tingkat keparahan infeksi Covid-19 seseorang?

Peradangan bisa menjadi fatal

Ciri umum bagi banyak pasien yang terkena Covid-19 parah adalah kerusakan paru-paru serius yang disebabkan oleh respons imun yang terlalu kuat.

Hal ini ditandai dengan terciptanya banyak produk peradangan yang disebut sitokin, yang dikenal dengan istilah badai sitokin.

Sitokin dapat menjadi alat yang sangat ampuh dalam respons kekebalan, salah satunya dapat menghentikan reproduksi virus.

Namun, beberapa tindakan sitokin dapat menyebabkan kerusakan nyata jika tidak dikendalikan.

Misalnya, membantu membawa sel kekebalan tubuh lain untuk melawan infeksi atau meningkatkan kemampuan sel yang direkrut ini untuk melintasi pembuluh darah.

Inilah yang terjadi dalam badai sitokin.

Banyak sel darah putih membuat sitokin, tetapi sel khusus yang disebut monosit dan makrofag tampaknya menjadi penyebab terbesar penghasil badai sitokin.

Baca juga: Badai Sitokin pada Pasien Covid-19 Tidak Jelas, Ini Paparannya

Ketika dikontrol dengan tepat, sel-sel tersebut dapat menjadi kekuatan positif.

Sel tersebut mampu mendeteksi dan menghancurkan ancaman, membersihkan dan memperbaiki jaringan yang rusak, hingga membawa masuk sel-sel kekebalan lain untuk membantu.

Namun, pada kasus Covid-19 parah, kerja monosit dan makrofag terhenti. Kondisi ini terutama berlaku pada pasien diabetes dan obesitas.

Glukosa tidak terkontrol

Diabetes, jika tidak dikontrol dengan baik, dapat menyebabkan tingginya kadar glukosa dalam tubuh.

Sebuah studi epidemiologi yang dilakukan pertengahan tahun kemarin menunjukkan, pada Covid-19, makrofag dan monosit merespons kadar glukosa yang tinggi dengan konsekuensi yang mengkhawatirkan.

Virus penyebab Covid-19, SARS-CoV-2, membutuhkan target untuk berdiam lalu menyerang sel kita. Pilihannya adalah protein di permukaan sel yang disebut ACE2.

Glukosa meningkatkan kadar ACE2 yang ada di makrofag dan monosit, kondisi ini membantu virus menginfeksi sel yang seharusnya membantu tubuh membunuhnya.

Begitu virus berada dengan aman di dalam sel-sel ini, virus tersebut memyebabkan mereka mulai memproduksi banyak sitokin peradangan dan secara efektif memulai badai sitokin.

Semakin tinggi kadar glukosa, semakin berhasil virus menggandakan diri di dalam sel. Jadi, pada dasarnya glukosa adalah bahan bakar untuk virus.

Baca juga: Bisakah Kacamata Mencegah Infeksi Virus Corona?

Kondisi ini juga menyebabkan sel kekebalan tubuh yang terinfeksi virus membuat produk yang sangat merusak paru-paru, seperti spesies oksigen reaktif.

Tak hanya itu, virus juga mengurangi kemampuan sel kekebalan tubuh lainnya, limfosit, untuk membunuhnya.

Kondisi obesitas juga menyebabkan tingginya kadar glukosa dalam tubuh. Mirip dengan diabetes, obesitas memengaruhi aktivasi makrofag dan monosit.

Penelitian menunjukkan, makrofag dari individu yang mengalami obesitas adalah tempat yang ideal untuk berkembangnya SARS-CoV-2.

Risiko lainnya terkait peradangan

Profil peradangan yang sama seperti disebabkan oleh diabetes dan obesitas juga terlihat pada beberapa orang tua atau mereka yang berusia di atas 60 tahun.

Peradangan ditandai dengan tingginya tingkat sitokin pro-peradangan dan dipengaruhi oleh sejumlah faktor.

Termasuk di dalamnya genetika, mikrobioma -bakteri, virus, dan mikroba lain yang hidup di dalam tubuh-, serta -lagi-lagi, obesitas.

Banyak orang lanjut usia juga memiliki lebih sedikit limfosit atau sel yang secara spesifik dapat menargetkan dan menghancurkan virus.

Artinya, untuk beberapa orang tua, sistem kekebalan tubuhbukan hanya kurang diperlengkapi untuk melawan infeksi, tetapi juga lebih mungkin mengarah pada respons kekebalan yang merusak.

Lebih sedikit limfosit juga berarti vaksin mungkin tidak akan berfungsi dengan baik.

Hal ini penting untuk dipertimbangkan terutama jika otoritas merencanakan kampanye vaksin Covid-19 di masa depan.

Teka-teki lain yang meninggalkan kekhawatiran bagi para peneliti adalah mengapa pria tampak jauh lebih rentan terhadap Covid-19.

Salah satu alasannya adalah karena sel pada pria tampak lebih mudah terinfeksi SARS-CoV-2 daripada wanita.

Reseptor ACE2 yang digunakan virus untuk menempel dan menginfeksi sel juga jauh lebih tinggi pada pria daripada wanita.

Selain itu, pria juga memiliki tingkat enzim lebih tinggi yang disebut TMPRSS2, yang meningkatkan kemampuan virus untuk memasuki sel.

Baca juga: Hati-hati, 5 Jenis Makanan Ini Bisa Sebabkan Peradangan

Imunologi juga menjelaskan beberapa petunjuk tentang perbedaan jenis kelamin.

Sudah lama diketahui, pria dan wanita memiliki respons kekebalan tubuh yang berbeda, dan ini berlaku pula untuk Covid-19.

Sebuah studi yang dilakukan baru-baru ini melacak dan membandingkan respons imun terhadap SARS-CoV-2 pada pria dan wanita dari waktu ke waktu.

Ditemukan bahwa pria lebih mungkin mengembangkan monosit atipikal yang sangat pro-peradangan dan mampu membuat sitokin khas dari badai sitokin.

Di sisi lain, wanita juga cenderung memiliki respons sel T yang lebih kuat, yang dibutuhkan untuk membunuh virus secara efektif.

Namun, bertambahnya usia dan indeks massa tubuh yang lebih tinggi dapat membalikkan efek kekebalan tubuh yang melindungi wanita.

Studi-studi seperti ini menyoroti betapa setiap orang mempunyai risiko keparahan yang berbeda-beda.

Semakin kita memahami tentang perbedaan dan kerentanan ini, semakin kita dapat mempertimbangkan cara terbaik untuk merawat setiap pasien.

Data seperti ini juga menyoroti kebutuhan untuk mempertimbangkan variasi dalam fungsi kekebalan dan memasukkan orang dari berbagai demografi dalam uji coba obat dan vaksin.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com