Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Protokol Kesehatan: Antara Jargon dan Guyon

Kompas.com - 24/09/2020, 19:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Sudah satu semester kita punya kata-kata dan frasa baru sehubungan dengan pandemi yang tak kunjung usai ini.

Salah satu yang paling sering dipakai adalah istilah “Protokol Kesehatan”. Semua bisa lolos dan disetujui, apabila dua kata ajaib itu disisipkan.

Jika dipersempit, protokol kesehatan sesuai pemahaman awam adalah mencuci tangan pakai sabun (atau semprotan hand sanitiser), menjaga jarak aman, dan memakai masker. Dari ketiganya, primadona yang paling mudah diawasi adalah penggunaan masker.

Pertama yang diributkan adalah cara pakainya. Indonesia belajar cukup lama untuk bisa memproklamirkan cara pakai yang benar, bahkan para petingginya sejak awal pandemi lebih dahulu mengajarkan cara yang salah, hingga terlanjur diikuti rakyat dan sekarang kita cape sendiri meluruskannya.

Baca juga: 4 Jenis Kesadaran Orang dalam Pemakaian Masker

Entah kenap, sulit sekali untuk menunjuk seorang dokter atau perawat yang sudah fasih menggunakan benda satu itu dalam rapat kabinet atau memutar videonya sebelum acara-acara virtual sebagai bagian dari K3 (kesehatan keselamatan kerja) di zaman pandemi.

Kedua (dugaan saya) yang akan diributkan nanti adalah cara melepas, menyimpan, mencuci atau membuangnya.

Semua yang tertulis dalam panduan, rupanya bagi orang Indonesia harus dibeberkan secara visual dan frontal.

Klaster penularan dalam keluarga atau kantor, bisa jadi bukan semata-mata karena ada salah satu orang yang membawa virusnya sebagai orang tanpa gejala, tapi juga bisa dari masker itu sendiri - yang sudah sarat dengan percikan orang sana-sini dan saat dilepas tergeletak begitu saja di meja kantor, meja makan, kursi atau bahkan tergantung di rak baju untuk dipakai lagi kapan saja, jika mau keluar rumah.

Lalu, virus dan percikan yang tak kasat mata menyebar bebas tanpa ada yang sadar.

Ketiga – ini sudah ramai: soal kualitas bahan masker. Begitu banyak orang lebih memerhatikan kenyamanan atau bahkan estetika.

Alhasil secara fungsional nol besar. Mulai dari bahan sintetis yang dikenal sebagai ‘scuba’ yang jadi pilihan para pria dengan alasan ‘enggak panas’ dan praktis, hingga bahan brokat yang oleh kaum hawa dinilai modis.

Semuanya bikin ‘tepok jidat’. Tujuan sebenarnya menggunakan masker sudah kesasar sama sekali.

Bahan scuba tak mampu menahan hembusan angin, bahkan droplet bisa tembus. Sementara brokat dan semua ‘masker fashion’ ujung-ujungnya justru mengumpulkan droplet beserta virusnya di sela-sela bahan atau manik-manik perniknya.

Baca juga: Efek Memakai Masker yang Kotor

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com