"Seratus lima puluh tahun lalu, wanita tidak membutuhkan handbag. Handbag tidak memiliki arti," katanya.
"Wanita menghabiskan hidup mereka di rumah, dan jika mereka pergi, mereka hanya membawa tas kecil. Wanita dari pertengahan abad ke-19 akan menganggap kita gila dengan menenteng tas jinjing besar berisi banyak barang."
"Nah, pada tahun 2050 alat perlindungan pribadi mungkin akan menjadi hal yang wajar. Membawa masker adalah kebutuhan seperti membawa tisu atau dompet. Ini adalah arah yang kita tuju," tutur Olbertova.
Dia mengapresiasi langkah yang dilakukan Louis Vuitton. Namun, ia juga menilai label mewah akan kesulitan untuk berinovasi, dan tidak peka dengan pandemi saat ini.
"Kesehatan seharusnya tidak menjadi sebuah kemewahan, atau seseorang yang menggunakan status kekayaan mereka untuk melindungi diri karena mereka lebih baik dan lebih pantas sehat," katanya.
"Orang yang sungguh-sungguh kaya kemungkinan tidak membeli pelindung wajah yang terlalu mahal."
"Produk seperti ini ditujukan bagi mereka yang menjadikan barang mewah sebagai kendaraan sosial, di mana hal itu tidak dilakukan oleh orang yang benar-benar kaya karena mereka tidak butuh apa pun untuk dibuktikan," sambung Olbertova.
Kendati kehadiran pelindung wajah Louis Vuitton di tengah pandemi dipertanyakan banyak orang, ini merupakan langkah inovasi yang tepat dari label tersebut.
"Pandemi hanya bertindak sebagai sarana untuk mempercepat transisi sektor barang mewah," ujar Olbertova menyimpulkan.
"Label mewah mungkin perlu mencari cara untuk melakukannya dengan lebih hati-hati. Tapi ini merupakan dinamika menarik yang perlu digali di masa depan."
Baca juga: Bukan Bahagia, Belanja Barang Mewah Justru Bikin Kurang Percaya Diri
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan