Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Ketika Keterampilan Hidup Akan Menjadi Gaya Hidup

Kompas.com - 11/10/2020, 15:25 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Dari hari ke hari, semakin banyak pasien-pasien saya yang ‘hilang arah’, apabila pembicaraan sudah mulai mengarah pada urusan memasak.

Beberapa di antaranya malah panik. Ada yang mengaku seumur perkawinannya tak pernah sekali pun benar-benar ‘memasak’ dari nol di dapur.

Para suami masa kini memang tidak keberatan punya istri tidak mengurus dapur. Mengaku pembela aliran feminisme, perempuan katanya tak layak berkutat di dapur apabila urusan makan bisa dibuat praktis dan ringkas: beli jadi.

Sementara beberapa keluarga lain yang saya kenal, ada yang cukup aktif berkarya di dapur bahkan dengan anak-anaknya, untuk... bikin kue. Dan kini kian menjadi-jadi setelah kue-kuenya menarik hati para pelongok instagram.

Baca juga: Akankah Konsumsi Pangan Lokal Bernasib Kontroversial?

Terakhir saya dengar mereka mulai menjajal bisnis ‘dessert box’ kekinian dan siomay beku yang di era bisnis pandemi lebih keren disebut ‘frozen dimsum’.

Saking sibuknya ,dapur bagai kapal pecah dengan bisnis jajanan, buat makan sehari-hari sang tuan rumah justru memilih jelajah menu di layanan pesan antar.

Rasanya saya perlu menghela napas sejenak. Begitu banyak yang harus diurai, begitu luas yang harus dibahas. Keterampilan hidup, alias life skills – adalah hal pertama yang sepertinya setiap orangtua perlu mengajari anak-anaknya sebelum mereka mentas meninggalkan rumah dan bekerja menghasilkan banyak uang.

Sudah jarang keluarga-keluarga yang menurunkan keterampilan sehari-hari, sebagai dasar untuk bertahan hidup.

Yang masih tersisa barangkali hanya keterampilan membersihkan diri sekadar bisa mandi, keramas, dan berdandan ala kadarnya. Minimal agar tidak terlihat awut-awutan atau berpenampilan memalukan.

Memasak, sudah dianggap urusan yang bisa dialihfungsikan. Makan, dianggap memuaskan sebatas kenyang plus enak.

Orang tak peduli lagi perihal memilih (mulai dari bahan baku), meracik, dan mengolah apa yang dimakannya.

Bahkan apa yang dimakan saat ini ada tren setter-nya, tak ubah seperti fesyen. Padahal, susunan DNA hingga fungsi tubuh yang diberi makan tidak pernah berubah sejak manusia mengenal makanan.

Baru saja saya menonton kanal televisi yang mengungkap kejayaan salah satu waralaba makanan cepat saji gaya Amerika, saat pertama merambah ke benua Afrika dan kepulauan Mauritius.

Dalam waktu singkat pilihan makan penduduk asli berubah total. Bahkan para karyawan yang direkrut dari orang pribumi dengan bangga menyebut diri sebagai bagian dari kemajuan dan perusahaan memberi mereka kehidupan serta bayaran layak – sehingga gerai-gerai waralaba ini diberi peluang sebesar-besarnya untuk ekspansi, mengganti makanan asli yang ‘kampungan’ dengan menu Amerika.

Agar selamat dari tuduhan ‘merusak pangan lokal’, maka tumpukan roti dan pizza mereka diberi cipratan rasa dan rempah Afrika.

Baca juga: Pre Order: Adopsi Istilah Ekonomi yang Bisa Menyehatkan Negeri

 

Pikiran saya kembali ke anak-anak pasien yang dengan bangganya bilang, mereka jago membuat sushi dan onigiri. Diisi tuna kalengan dan crab stick – yang mereka pikir itu daging kepiting sungguhan.

Begitu pula orangtuanya menyebut diri sudah mulai pintar memasak dengan modal jejeran kecap dan saus, yang mereka sendiri tidak pernah paham semua cairan lengket itu isinya apa. Belum lagi berbagai bubuk kemasan yang saat ini mereka sebut sebagai ‘bumbu’.

Sayang amat telur, ayam, ikan, tahu dan tempe yang baik-baik itu diolah dengan cara yang tidak baik. Diam-diam junk food rumahan mulai bermunculan.

Bagi saya, betapa menyedihkannya melepas anak hidup mandiri tanpa keterampilan hidup. Sekolah tinggi-tinggi dan mendapat pekerjaan yang membanggakan, apabila tubuhnya rusak karena diberi makanan yang salah, maka semua penghasilannya akan habis untuk berharap mendapatkan kembali tubuh yang sehat.

Baca juga: Demi Kesehatan, Tingkatkan Kupasan dan Tinggalkan Kemasan

Keterampilan memilih, meracik, dan mengolah makanan adalah basic life skill – setelah anak mampu mandi sendiri, membereskan kamar ,dan pulang pergi sendiri tanpa takut kesasar. Tak terkait gender. Laki dan perempuan sama-sama membutuhkan keterampilan hidup.

Faktanya, sebut saja para mahasiswa mahasiswi kita yang ‘ngekos’. Berapa gelintir yang mau merawat diri dengan memasak sendiri?

Waktu luang pun dipakai untuk merambah dunia hiburan, ketimbang menghibur tubuhnya dengan makanan bermutu.

Hampir semua orang jika ditanya kenapa tidak masak sendiri, jawaban favorit biasanya: tidak punya waktu, tidak hobi masak, tidak tahu mau masak apa.

Padahal memasak itu sama saja dengan keramas. Sama-sama soal memberikan hak tubuh. Saya keramas karena saya punya rambut. Saya masak karena tubuh saya butuh makan.

Punya waktu atau tidak, orang pasti meluangkan waktu mandi untuk keramas. Semua berpulang pada manajemen waktu.

Tidak ada cara mudah untuk keramas, sekali pun sekarang ada sampo kering – di masa kepepet – tapi mustahil kita bergantung dengan sampo kering setiap waktu.

Untuk bisa belanja, memilih bahan makanan, meraciknya dan mengolah jadi makanan juga butuh manajemen waktu – yang bisa dipelajari dan dilatih sejak masih tinggal bersama orangtua.

Bagaimana membuat perencanaan menu, menjadi lebih hemat karena belanja menjadi terarah dan tak ada bahan yang terbuang.

Begitu pula di saat luang bahan-bahan tersebut sudah bisa diracik, dibersihkan, dipotong-potong, yang nantinya siap untuk dimasak sesuai jadwal menu harian, sehingga tak perlu lagi mengupas bawang, atau menatap dengan putus asa ayam utuh yang masih beku. Di luar negri sana dikenal dengan istilah ‘meal prep’.

Baca juga: Sampai Kapan Manusia Bertahan Makan Seadanya?

Saya masih ingat ketika melepas si gadis untuk meneruskan sekolah. Bekal harian dia bukanlah uang saku berlimpah, melainkan variasi daftar belanja mingguan dengan berbagai pilihan menu masakan yang saya tahu amat disukainya dan dia sudah mampu mengolahnya.

Ia tak pandai membuat kue kering apalagi berbagai bolu dan cake. Tapi saya yakin, ia mampu membuat dirinya cukup makan tiga kali sehari dengan baik, sarapan normal sebelum ke kampus – bukan dengan isi perut praktis asal-asalan.

Banyak orang dengan alasan tuntutan hidup mencari uang begitu keras, sampai dapur hanya sekadar tempat menghangatkan makanan jadi. Bukan area yang menghangatkan keluarga.

Dimana semestinya anak-anak kita belajar membuat nasi liwet atau lemper, bukan sushi.

Belajar meracik bumbu putih buat opor, bumbu kuning buat kari atau soto, dan bumbu merah untuk balado atau rendang.

Dengan demikian mereka tidak perlu sesat menganggap makanan orang asing lebih sehat, sementara makanan budaya sendiri dituding meningkatkan kolesterol.

Sebelum mereka jadi orangtua baru yang harus belajar memberi makan anak-anaknya, alangkah baiknya jika kurikulum sekolah juga menempatkan keterampilan hidup, sebagai mata ajar yang membuat penghasilan mereka kelak tidak sia-sia, karena tidak memperlakukan tubuhnya dengan baik dan benar.

Sebab apa yang tadinya kita sebut sebagai keterampilan hidup, nantinya akan menjadi gaya hidup.

Minimal penyakit diabetes, hipertensi, dan sindroma metabolik terkikis dengan lebih banyak mengonsumsi makanan rumah buatan sendiri. Kualitas hidup pun berubah, when life skils turn to lifestyle.

Baca juga: Akankah Konsumsi Pangan Lokal Bernasib Kontroversial?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com