Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Waspadai, Efek "Candu Pujian" dari Orangtua bagi Perkembangan Anak

Kompas.com - 16/10/2020, 16:33 WIB
Dian Reinis Kumampung,
Glori K. Wadrianto

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Memuji anak secara berlebihan kerap dilakukan orangtua, baik sadar maupun tidak. Namun ternyata, pujian berlebih adalah salah satu bentuk kekeliruan dalam mendidik si buah hati.

Memang benar memuji dan menghargai anak atas apa yang mereka lakukan lebih baik daripada menghukum saat mereka berperilaku tidak baik.

Profesor psikologi di Universitas Clark di Worcester, Amerika Serikat, Wendy S. Grolnick, Ph.D., mengatakan, pujian juga memiliki sisi negatif.

Baca juga: Kapan Orangtua Harus Lakukan Deep Talk dengan Anak?

Sebab, memuji hasil pekerjaan anak seperti mengatakan “wah bagus”, atau “kamu sangat pintar”, akan membuat anak-anak fokus pada hal-hal itu.

Ini akan membuat anak merasa cemas atas apa yang mereka kerjakan, apakah akan dipuji lagi atau tidak.

Anak mungkin akan berpikir “aku akan pintar jika melakukannya, dan aku akan menjadi anak bodoh jika tidak melakukannya".

Selain itu, si kecil menjadi lebih termotivasi pada kesenangan orangtua, daripada proses yang dilaluinya.

Puji prosesnya, bukan orangnya

Gaya pengasuhan tahun 1970-an yang mementingkan harga diri berfokus pada memberikan umpan balik positif pada anak ana, seperti memberi pujian,“kerja yang bagus” atau “kamu sangat pintar”.

Baca juga: Contoh Gisel dan Gempi, Orangtua Tak Perlu Malu Minta Maaf ke Anak

Hal ini berbeda dengan gaya pengasuhan yang lebih terbuka dan berorientasi pada disiplin dari generasi sebelumnya yang memfokuskan anak untuk menjadi lebih hangat dan sehat.

Profesor psikologi di Sekolah Pascasarjana Pendidikan Stanford, Carol S. Dweck Ph.D. -yang mempelajari efek dari jenis pujian ini, di akhir era 90-an menemukan, pujian dapat memiliki efek yang berbahaya.

Penelitiannya menunjukkan, anak-anak merasa tertekan untuk memenuhi pujian orangtua, dan hal ini dapat menyebabkan kepanikan dan kecemasan.

Bahkan anak-anak yang tidak mengalami kecemasan menjadi menghindari risiko, mengembangkan apa yang kemudian disebut Dr. Dweck sebagai "mindset (yang) menetetap".

Anak-anak ini takut untuk menantang diri, karena tak mau mengecewakan orangtua mereka.

Grolnick mengatakan, pujian semacam ini dapat dianggap sebagai pengendalian yang merongrong kesenangan dan motivasi anak untuk kegiatan tertentu.

Semua terjadi semata karena untuk menyenangkan orangtua.

Dweck dan koleganya pun meneliti apa yang terjadi ketika anak-anak dipuji atas usaha mereka, bukan hasil atau sesuatu yang mereka hasilkan.

Ternyata, anak-anak ini semakin percaya diri dan merasa berdaya untuk mencoba hal-hal baru.

Dalam salah satu contoh dari penelitian pada tahun 1998, setelah menyelesaikan serangkaian matriks, satu kelompok anak-anak diberi tahu bahwa mereka berhasil karena mereka pintar.

Lalu. di kelompok kedua diberi tahu bahwa mereka sukses karena mereka bekerja keras.

Mereka lalu diminta untuk memecahkan teka-teki baru. Hasilnya, anak-anak di kelompok kedua jauh lebih siap menghadapi masalah yang lebih menantang.

Dweck juga menemukan, anak-anak di kelompok kedua mengatakan, mereka lebih menikmati memecahkan masalah daripada kelompok pertama.

Dari sana para peneliti menyimpulkan, mereka melakukan karena mereka memiliki kepercayaan diri pada kemampuan mereka.

Bahkan, jika mereka gagal pada awalnya, mereka mampu bekerja mencari solusi sendiri.

Jadi, orangtua bisa memuji si kecil dengan berkata, "kamu pasti bekerja sangat keras untuk itu!"

Jangan langsung memuji

Insinyur pembelajaran di Chan Zuckerberg Initiative, Kyla Haimovitz, Ph.D., ikut menulis makalah pada 2017 tentang topik tersebut bersama Dweck.

Haimovitz mengatakan, pujian tidak harus diucapkan secara langsung.  Jika anak sedang menggambar, misalnya, orangtua tidak harus langsung mengomentari pemiilihan warna si kecil.

Baca juga: Orangtua Perlu Tahu, 4 Tips Ajari Anak Saat Belajar Online

Tunggulah sampai selesai, ketika anak menunjukkan gambarnya, lalu katakan pujian seperti, ooh, ayah lihat kamu memilih untuk meletakkan ungu di sebelah coklat - itu sangat menarik!"

Orangtua bisa bertanya kepada mereka tentang proses yang mereka jalani untuk bisa memuji proses belajar tersebut,” kata Haimovitz.

“Dengan demikian  memungkinkan anak-anak untuk mengevaluasi diri mereka, daripada melakukan evaluasi eksternal.”

Dengan kata lain, pertanyaan orangtua pada gilirannya akan mendorong anak untuk mengajukan pertanyaan yang sama kepada diri sendiri.

Hal tersebut akan memicu rasa ingin tahu dan eksplorasi.

Waspadai kecanduan pujian

Profesor psikologi di Reed College di Portland, Oregon, Dr Jennifer Henderlong Corpus, Ph.D., mengatakan, terlalu memuji anak dapat membuat mereka menjadi kecanduan pujian.

Baca juga: Orangtua Baru Juga Perlu Self Care

Seorang anak bakal secara kompulsif melakukan perilaku untuk mendapatkan pengakuan.

Risiko lainnya yang juga akan timbul adalah karena  anak bisa merasakan pujian yang tidak tulus.

Yang sangat menarik, bagaimana pendekatan semacam itu tak "mujarab" bagi anak-anak dengan kepercayaan diri yang rendah.

Orangtua, -dan juga guru, seperti ini sering kali mencoba untuk meningkatkan semangat pada anak-anak semacam itu dengan memberikan pujian yang berlebihan.

Misalnya, “gambarmu adalah yang paling indah yang pernah saya lihat!"

Tetapi -sayangnya, anak-anak semacam itu tak bisa menangkap maksudnya, dan merespons pujian semacam itu dengan buruk.

“Ini karena jenis pujian tersebut menciptakan standar yang sangat tinggi, dan anak-anak dengan cepat kehilangan motivasi dalam menghadapi ketidakmungkinan itu," kata Corpus.

Nah, demi menghindari risiko ini, orangtua dan guru diminta untuk mendeskripsikan secara sederhana dengan mengamati apa yang anak lakukan, lalu ungkapkan ekspresi kegembiraan yang netral.

“Wow! Kamu menggali lubang besar di kotak pasir dengan trukmu! ”

Hal ini akan memperkuat perilaku, dan membuat si kecil tahu bahwa orangtua dan gurunya memperhatikan mereka, tanpa menetapkan standar yang tidak realistis. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com