Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Mengapa Diet Gagal dan Usaha Jaga Makan Berantakan?

Kompas.com - 28/10/2020, 08:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com - Jawabnya hanya ada dua: pertama – polanya ekstrem, kedua – yang dimakan aneh. Istilah diet di negri kita mempunya konotasi yang berbeda dengan makna aslinya, yaitu pola makan.

Diet di Indonesia lebih dipahami sebagai pantangan, restriksi makan, yang sebagian besar menerapkan demi pengurangan bobot tubuh.

Ketimbang suatu proses penyelarasan pola makan yang diharapkan menjadi kebiasaan baru dan diadaptasi sebagai bagian dari gaya hidup, jadi mirip seperti perubahan hidup saat menikah dengan meninggalkan beberapa kebiasaan di masa lajang yang sudah tidak cocok lagi.

Baca juga: Jangan Asal Diet, Kekurangan Karbohidrat Bisa Berbahaya

Diet gagal bisa diibaratkan menyerahnya seseorang dalam proses adaptasi. Sebenarnya sudah bisa ditebak sejak awal.

Orang yang punya kebiasaan sarapan nasi goreng, lontong sayur, bubur ayam, mustahil ‘dikendalikan’ dengan aturan yang hanya mengizinkan dia minum kopi secangkir tanpa gula. Itu bukan diet. Tapi penyiksaan. Dari caranya saja sudah tidak benar.

Sarapan pada dasarnya makan, bukan ‘minum’. Apalagi yang diminum kopi – hal yang amat tidak dibutuhkan tubuh.

Bahkan dari penelitian terbaru dari British Journal of Nutrition memaparkan, konsumsi kopi pagi hari sebelum makan mampu meningkatkan risiko diabetes hingga 50%, walaupun kopinya tanpa gula sama sekali.

Kafein adalah senyawa penghambat masuknya gula ke dalam otot, padahal karbohidrat dari sarapan ditujukan untuk memenuhi kecukupan kadar gula dalam darah agar bisa menghasilkan tenaga.

Ekstremnya perubahan dari bubur ayam atau nasi uduk ke secangkir kopi pahit ditambah dengan keanehan makan siang yang sama sekali jauh dari kultur sehari-hari: ikan kukus dengan brokoli.

Orang Indonesia yang sungguh-sungguh suka brokoli saja jarang, apalagi kalau teman makannya ikan kukus.

Bukan hanya rasanya tidak enak, tapi membuat momen makan yang mestinya merupakan ungkapan syukur dan rasa puas, malah menjadi momen mengerikan yang mematahkan nafsu makan.

Contoh lain diet ekstrem juga anjuran sarapan bubur oatmeal, alias havermut – yang dipercaya baik untuk jantung.

Havermut jauh dari citarasa lidah Indonesia. Dan mustahil memberi rasa kenyang yang ‘nendang’ – alhasil havermut yang juga instan itu dicampur dengan kecap, abon, dan diperlakukan seperti bubur ayam.

Dua jam sesudahnya, dijamin perut meronta minta diisi lagi. Sayangnya, mustahil orang Indonesia mengunyah apel sebagai selingan. Alhasil berbagai camilan di luar ‘ketentuan diet’ bablas.

Baca juga: Remaja Putri Harus Hati-Hati, Cara Diet Salah Bisa Berakibat Anemia

 

Ilustrasi diet menurunkan berat badanShutterstock Ilustrasi diet menurunkan berat badan

Rupanya ada perancang ‘diet maksa’ yang barangkali sudah memerhitungkan soal perut meronta: karenanya kaidah membubuhkan 1 sendok makan minyak zaitun dijadikan hukum wajib.

Bukan karena minyak zaitun sehat, melainkan minyak ini dijadikan manipulasi agar rasa kenyang bertahan lama!

Betapa mengerikannya diet-diet sembarangan begini, yang berakhir pada amburadulnya imbangan kebutuhan karbohidrat-protein dan lemak manusia normal.

Saya pernah mengamati beberapa orang melalui instagram mereka. Ada yang merasa ‘bersalah’ setelah beberapa hari mengonsumsi ‘makanan liar’ berkat perjalanan wisata atau memang ‘sedang kepingin’.

Mulai dari martabak manis, sop konro, mi bakso kesayangan dengan isi gajih lengkap nan gurih.

Baca juga: 6 Alasan Usaha Diet Tak Kunjung Berhasil

Beberapa hari kemudian, orang ini mengunggah menu ‘penebus dosa’nya: sup bening berisi brokoli (yang warnanya sudah kusam), potongan putih telur kukus, dan seabreg daun kol. Jujur, rasanya mau tepok jidat.

Barangkali ini yang terjadi dengan sebagian besar publik kita. Alih-alih mau belajar memahami diri sendiri dan kebutuhan tubuhnya, malah meniru kebiasaan makan orang lain yang sama sekali beda kultur dan beda cita rasa.

Itulah sebabnya bukan hanya istilah diet gagal, tapi juga siksaan ‘jaga makan’ – seperti anak yang biasa main layang-layang dan mencari ikan di kolam tiba-tiba harus ‘jaga sikap jaga kelakuan’ karena harus pakai kemeja licin berjas, dasi plus sepatu kaku saat diundang ke istana negara.

Satu-dua jam bolehlah, tapi bila diteruskan satu-dua hari, bukan hanya kaki lecet – stres pun muncul.

Dan bisa dibayangkan betapa lega dan bahagianya jika dandanan aneh itu dilepas semua, kembali mengenakan kaos lusuh, celana pendek dan sendal jepit!

Analogi yang sama dengan 5 hari disiksa oleh diet kejam ekstrem dan aneh, lalu di akhir minggu ‘cheating day’ dimulai.

Dan apabila tiba-tiba ada perubahan hidup, entah ada keluarga yang masuk rumah sakit dan perlu dijenguk setiap hari, rentetan ritual perkawinan, harus keluar kota karena tuntutan pekerjaan, maka diet kejam ekstrem nan aneh itu akan bubar sama sekali. Dan berat badan melambung naik.

Lalu, bagaimana jika ingin memperbaiki kekacauan pola makan dan obesitas sudah terlanjur merusak tubuh? Yang pasti, jangan pernah ‘ingin menjadi orang lain’.

Ada baiknya sebagai tahap pertama, mulailah dengan membuat catatan: dari jenis makanan yang paling disukai, buah yang disukai, jenis lauk sayur yang disukai.

Kerap kali catatan itu belum tentu ‘kelihatan sehat’. Tak apalah, untuk catatan awal. Sebagian orang Indonesia menulis jenis makanan yang paling disukai: ayam goreng, berbagai jenis soto, ikan goreng, aneka lauk masakan minang, tahu tempe goreng, bakwan, telor dadar dan ceplok, oseng-oseng kikil, sate, bakmi ayam, bakso.

Sebetulnya tidak ada yang salah dengan semua jenis lauk itu. Faktanya memang sudah dimakan orang sejak jaman dahulu, bahkan menjadi ciri makanan sehari-hari.

Baca juga: 12 Jus Sayur yang Bisa Membantu Diet, Sudahkah Kamu Mencobanya?

 

Ilustrasi dietSHUTTERSTOCK/YURIY MAKSYMIV Ilustrasi diet

Tahap kedua. Buat rencana lauk selama seminggu. Jika belum mampu membuat rencana menu yang bisa dimasak sendiri, mungkin perlu berlangganan dengan warteg dahulu.

Agar tidak repot, pilih 1 lauk utama dan 1 menu sayur untuk 3x makan dalam sehari. Misal: senin ayam bakar dan sayur asem. Selasa tahu tempe bacem dan orak-arik buncis, dan seterusnya.

Tahap ketiga. Eksekusi: setiap kali makan, baik sarapan-makan siang-juga makan malam, selain ada lauk utama dan 1 menu sayur tadi, biasakan makanan pokok dan buah harus ada.

Rotasikan makanan pokok, misalnya senin nasi merah, selasa ubi kuning, rabu singkong, kamis kentang, jumat jagung, sabtu talas, minggu ubi ungu (di Jawa, masih ada ganyong, kimpul, garut, dsb).

Jadi, setiap kali makan: ada makanan pokok, lauk protein, sayur dan buah. Sarapan jadi amat kenyang? Memang itu tujuannya. Agar tidak butuh ngemil hingga jam makan siang datang.

Baca juga: Berapa Asupan Kalori Per Hari agar Diet Berhasil?

Makan malam pun menjadi puas tanpa harus berpikir mau makan apa di jam 11 malam. Lho, bukannya makin gemuk? Sama sekali tidak.

Adanya sayur dan buah yang berserat tinggi di setiap kali makan justru memperlambat penyerapan gula dari karbohidrat dan memberi rasa kenyang yang aman, sekaligus konsumsi makanan pokok tidak berlebihan.

Tahap keempat. Jika sudah terbiasa dengan komposisi makan di atas, maka buat catatan lanjutan: perbaikan kualitas menu sekaligus mulai terampil memilih, meracik dan mengolah makanan sendiri.

Ayam goreng bisa diganti dengan sup ayam jamur. Ikan goreng juga bisa digeser menjadi ikan kuah asam yang tak kalah sedapnya. Begitu pula tumisan sayur berubah jadi urap atau lalapan segar. Tahu goreng beralih jadi tahu pepes.

Tidak ada cara praktis dan instan untuk hidup lebih sehat, apalagi berharap kebiasaan baru menjadi pola menetap. Semua harus diawali akal sehat, dimulai dengan benar dan dijalankan secara wajar.

Dengan demikian orang Minang tetap bangga bisa mengonsumsi ikan pangek, bukan sarapan telur rebus dan kentang kukus.

Begitu pula orang Sulawesi masih menikmati kapurung udang untuk makan siang, bukan siksaan romaine salad dengan tetesan minyak zaitun.

Baca juga: 5 Kiat Sederhana Merampingkan Pinggang Tanpa Diet Ketat

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com