Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Membedakan antara Toxic Positivity dan Berpikiran Positif

Kompas.com - 28/10/2020, 09:46 WIB
Maria Adeline Tiara Putri,
Lusia Kus Anna

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Belakangan istilah toxic positivity makin sering diperbincangkan. Istilah ini mengarah ke kalimat positif ketika seseorang merasa tertekan atau stres, yang malah memberikan efek negatif.

Biasanya dalam kondisi tidak nyaman dan terpuruk, kalimat-kalimat positif yang tujuan awalnya bertujuan memberi semangat.

Akan tetapi, ketika cara pikir dan emosi positif itu harus selalu ada, yang terjadi malah bisa menghancurkan diri sendiri.

Hal ini dikarenakan cara pikir atau emosi positif dilakukan secara berlebihan dan sebenarnya hanya ingin menghindar dari perasaan tidak nyaman.

"Kuncinya ada di kata selalu positif di setiap saat," ujar psikolog klinis dewasa Alfath Hanifah Megawati saat dihubungi Kompas.com.

Baca juga: Toxic Positivity, Pikiran Positif yang Berakibat Buruk bagi Mental

Dia menambahkan, toxic positivity bisa dilakukan oleh orang lain kepada diri kita, tetapi bisa juga diri sendiri yang melakukannya.

Racun dalam positivitas terjadi jika diri sendiri tidak mau mengakui perasaan tidak nyaman yang sedang dirasakan dan memilih memendamnya.

Dengan demikian, tidak ada ruang dalam diri untuk merasa lemah, sakit, atau menjadi gagal. Akibatnya, muncul perasaan harus selalu benar dan menang.

"Nah, ini yang menjadi toxic. Padahal, sebagai manusia, kita tidak bisa lepas dari perasaan tidak nyaman, sakit, gagal, lemah," ujar Ega.

Toxic positivity terjadi ketika ada penyangkalan diri secara berlebihan, terus-menerus, dan ditambah ada supresi (menahan perasaan tidak nyaman).

Pada akhirnya kondisi ini bisa menjadi bom waktu. Apabila meledak, akan muncul perasaan tidak terkendali.

Contohnya mood yang tidak menentu, merasa tidak nyaman terus-menerus dengan diri atau orang lain, gejala sakit fisik, dan sebagainya.

Namun demikian, ujaran semangat saat merasa terpuruk dan berpikir positif bisa langsung dilabeli toxic positivity.


"Toxic di sini lebih dari kondisi itu semua. Sebaiknya tidak langsung memberikan label toxic pada hal-hal yang tidak sesuai dengan diri," tambah Ega.

Terlalu cepat memberi label toxic justru membuat seseorang terperangkap dalam lingkaran tidak mau menjadi positif.

Baca juga: Hidup Lebih Tenang dengan Mengusir Pikiran Negatif

Malah mungkin label itu dijadikan pembenaran terhadap emosi atau pikiran negatif. Hal ini yang salah dan dapat terjadi mispersepsi terhadap kalimat positif.

Tidak masalah untuk mengakui emosi negatif dan merasa terpuruk, tetapi perlu juga untuk kemudian mengakui kekuatan dalam diri sendiri.

Di sinilah pikiran positif diperlukan untuk membuat diri sendiri merasa lebih baik.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com