Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Besar soal "Virus Toleransi" dari Tempat Kecil di Pangandaran

Kompas.com - 31/10/2020, 12:06 WIB
Reni Susanti,
Glori K. Wadrianto

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Landeus Karolus Wolor terus mengumbar senyum. Kegembiraan terlihat jelas di wajah remaja asal Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT) itu.

Setelah sempat terpisah karena pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia, Carlos -demikian Landeus biasa disapa, bisa kembali ke Pangandaran, Jawa Barat.

Carlos adalah salah satu siswa di SMK Bakti Karya, yang berada di Desa Cintakarya, Kecamatan Parigi, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat.

Siang itu, Carlos mendapat tugas menjadi pembawa acara pada Festival 28 Bahasa 2020.

Dengan mengenakan kaus singlet putih yang dilapis selembar kain tenun berwarna merah tua, Carlos berjalan-jalan sambil membawa mikropon di tangan.

Salah satu spot yang didatangi Carlos adalah sebuah Honai -rumah adat Papua, yang ikut meramaikan festival itu.

Di dalam rumah itu Carlos mendapati dua siswa asal Papua yang mengenakan pakaian adatnya, tengah berfoto dengan warga Pangandaran.

Carlos buru-buru menarik kedua kawannya itu, untuk dimintai komentarnya tentang pengalaman dan kehidupan mereka.

Banyak hal dibahas, mulai dari pakaian adat, rumah Hanoi, makanan khas Papua, hingga cerita tentang sekolah dan kesan mereka tinggal di Pangandaran.

“Bahagia ada di sini,” ujar Carlos sambil terus melempar senyum lebarnya.

Pendidikan multikultural "gratis"

Landeus Karolus Wolor saat menjadi pembawa acara dalam Festival 28 Bahasa 2020 di Pangandaran. Dok SMK BAKTI KARYA Landeus Karolus Wolor saat menjadi pembawa acara dalam Festival 28 Bahasa 2020 di Pangandaran.

SMK Bakti Karya terdaftar sebagai SMK bidang multimedia, namun memiliki keunikan dalam hal pembelajaran nilai multikultural.

Itulah mengapa, siswa di sekolah ini datang dari beragam suku di Nusantara. Ada dari Aceh, Jawa, Sunda, Kalimantan, Papua, dan lainnya.

Bila dihitung, setidaknya "perwakilan" dari 25 suku dengan latar belakang budaya dan agama berbeda yang belajar di sekolah itu.

Uniknya, mereka belajar dan tinggal bersama selama tiga tahun di sekolah itu, tanpa biaya.

Tak hanya melulu tentang multimedia, mereka pun belajar mengenai ekologi, dan 60 materi pokok multikulturalisme yang mengacu pada lima konsep dasar.

Kelima konsep dasar itu adalah penanaman nilai toleransi, semangat perdamaian, semangat berjaringan, berbudaya, dan pembelajaran aktif.

Konsep sekolah ini pun lebih banyak di luar ruangan.

Mereka bercocok tanam, aktif dengan kegiatan masyarakat, bahkan membantu jika ada yang hajatan hingga proses penguburan warga.

Kepada Kompas.com, sejumlah siswa bercerita tentang bagaimana sekolah ini memperbaiki pandangan mereka tentang toleransi.

Seperti Ismail Rumaru, siswa asal Ambon yang dibesarkan dalam lingkungan konflik.

Konflik antaragama yang terjadi di daerahnya membuat rasa benci dan marah pada orang beragama lain tertanam dalam dirinya.

Itulah mengapa -awalnya, saat berada di Pangandaran ia sulit bergabung dengan siswa yang berbeda agama.  “Konflik kecil pun bisa dibesar-besarkan,” kata Ismail.

Namun lambat laun, Ismail mengaku pandangan terhadap mereka yang berbeda agama pun berubah. Dia merasa, hal itu terjadi karena mereka berbaur dan berkomunikasi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com