Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Besar soal "Virus Toleransi" dari Tempat Kecil di Pangandaran

Kompas.com - 31/10/2020, 12:06 WIB
Reni Susanti,
Glori K. Wadrianto

Tim Redaksi

Jatuh bangun

Pendiri sekolah ini adalah Ai Nurhidayat, seorang lelaki 31 tahun yang pernah mengenyam pendidikan di Jakarta.

“Saya kuliah di Jakarta, tapi memutuskan untuk kembali ke daerah karena urbanisasi hanya akan memperkuat ketimpangan desa dan kota,” tutur pria kelahiran Ciamis, 22 Juni 1989 itu.

Sekembalinya ke kampung, Ai bersama beberapa temannya mendirikan Komunitas Sabalad pada tahun 2013.

Komunitas ini banyak membantu warga di bidang pendidikan dan pertanian.

Pada tahun 2014, seorang guru SMK Bakti Karya menemui Ai untuk meminta bantuan. Guru itu bercerita tentang nasib sekolah tersebut yang berada di ambang kehancuran.

Dengan bermodalkan tekad dan sebidang tanah wakaf, Ai dan komunitasnya mengakuisisi SMK Bakti Karya pada tahun yang sama.

Kini, Ai menjabat sebagai Ketua Yayasan Darma Bakti Karya Pangandaran yang menaungi SMK Bakti Karya.

Program kelas multikultural pun mulai dijalankan sejak tahun 2015.

Sekolah ini membiayai anak-anak dari luar daerah. Mereka bisa bersekolah secara gratis, mendapat makan, asrama, buku, hingga tiket pulang pergi ke daerah asal.

Dananya, kata AI, berasal dari banyak pihak yang menjadi donatur. “Saya buat ini bukan untuk gaya-gayaan," kata dia.

"Sederhananya, kalau kita punya duit, rumah, kerjaan, tapi lingkungan kita diskriminatif, enak ga?" sebut Ai.

"Karena saya mencintai istri, anak, dan orang-orang di sekitar saya, makanya saya lakukan ini,” tutur dia.

Kendati berniat mulia, namun bertahan hingga selama ini bukanlah perkara yang mudah bagi Ai dan kawan-kawannya.

Ai pernah dituduh sebagai pemuka agama terselubung, yang lalu ingin menyebar agama tertentu di daerah itu.

Bahkan Ai Nurhidayat pernah dituding sebagai pengikut aliran sesat yang akan membawa siswa-siswa di sekolah tersebut ke dalam kesesatan.

“Ada cerita lucu. Dulu orang Sulawesi nyari SMK Bakti Karya gak ketemu. Nanya ke orang juga gak tahu," kata penerima Satu Indonesia Awards ini.

"Pas bilang tempat sekolah siswa dari berbagai daerah, warga bilang oh... sekolah kristenisasi. Ke sebelah sana,” ungkap Ai.

Toh, mendapat cap seperti itu tak menyurutkan tekad Ai.

Meskipun ia harus menghadapi aksi unjuk rasa saat dipanggil Pemerintah Kabupaten Pangandaran, untuk mengklarifikasi isu SARA.

Pendemo atau pun mereka yang menolak sekolah itu bukan warga sekitar sekolah. Sebab, sejak awal warga sekitar menerima keberadaan anak-anak berbagai suku itu.

Beruntung, lambat laun anggapan negatif sekolah ini pudar. Terutama, saat kerusuhan pecah di Papua, banyak pejabat yang lantas mengamini upaya Ai membangun kelas multikultural.

“Para siswa ini penyebar 'virus toleransi'. Mereka menebar benih keberagaman. Kalau terjadi konflik, siapa yang memiliki imun? Ya mereka."

"Karena tiga tahun mereka hidup bareng dalam keberagaman. Mereka agen perdamaian,” ucap Ai.

Bertahan di tengah pandemi

Seorang siswa asal Papua sedang duduk di depan kelasnya di SMK Bakti Karya Parigi, Pangandaran, Jawa Barat.KOMPAS.com/RENI SUSANTI Seorang siswa asal Papua sedang duduk di depan kelasnya di SMK Bakti Karya Parigi, Pangandaran, Jawa Barat.
Saat pandemi, masalah keuangan pun muncul. Donatur menghentikan bantuan, dan berbagai kerjasama pun ditunda.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com