Seperti Ismail Rumaru, siswa asal Ambon yang dibesarkan dalam lingkungan konflik.
Konflik antaragama yang terjadi di daerahnya membuat rasa benci dan marah pada orang beragama lain tertanam dalam dirinya.
Itulah mengapa -awalnya, saat berada di Pangandaran ia sulit bergabung dengan siswa yang berbeda agama. “Konflik kecil pun bisa dibesar-besarkan,” kata Ismail.
Namun lambat laun, Ismail mengaku pandangan terhadap mereka yang berbeda agama pun berubah. Dia merasa, hal itu terjadi karena mereka berbaur dan berkomunikasi.
Pendiri sekolah ini adalah Ai Nurhidayat, seorang lelaki 31 tahun yang pernah mengenyam pendidikan di Jakarta.
“Saya kuliah di Jakarta, tapi memutuskan untuk kembali ke daerah karena urbanisasi hanya akan memperkuat ketimpangan desa dan kota,” tutur pria kelahiran Ciamis, 22 Juni 1989 itu.
Sekembalinya ke kampung, Ai bersama beberapa temannya mendirikan Komunitas Sabalad pada tahun 2013.
Komunitas ini banyak membantu warga di bidang pendidikan dan pertanian.
Pada tahun 2014, seorang guru SMK Bakti Karya menemui Ai untuk meminta bantuan. Guru itu bercerita tentang nasib sekolah tersebut yang berada di ambang kehancuran.
Dengan bermodalkan tekad dan sebidang tanah wakaf, Ai dan komunitasnya mengakuisisi SMK Bakti Karya pada tahun yang sama.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.