Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 07/11/2020, 10:52 WIB
Gading Perkasa,
Wisnubrata

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Ketika kita memiliki waktu senggang, biasanya kita mengaktifkan ponsel dan membuka media sosial.

Berbagai unggahan dari teman dan kerabat pun kita lihat. Misalnya, seorang teman yang update status bahwa dia baru saja membeli mobil baru.

Scroll ke bagian bawah, kita menyaksikan rekan kerja kita membicarakan politik dan menyudutkan salah satu kubu.

Kemudian, ada juga unggahan dari tetangga kita yang menikmati liburan di tempat menawan.

Atau, saudara kita yang mengunggah foto di mana ia berhasil menurunkan berat badan lewat diet yang dijalaninya.

Semua unggahan itu dapat membuat kita frustasi akan banyak hal.

Kita mulai memikirkan karier yang tidak pasti, jengah dengan topik seputar politik, kesal tak dapat menikmati liburan, atau iri karena diet yang kita terapkan tidak berhasil.

Apa yang ditampilkan di media sosial semuanya tampak sempurna. Wajar jika kita merasa terpuruk setelah melihat berbagai unggahan dari teman atau kerabat kita dan membandingkan dengan kondisi kita.

Lalu, adakah cara untuk berhenti mengakses media sosial?

Terapis kesehatan perilaku Jane Pernotto Ehrman, MEd, RCHES, ACHT, menjelaskan cara memiliki hubungan sehat dengan media sosial, serta tanda kita perlu break atau berhenti bermain media sosial.

1. Sejauh mana media sosial bisa dikatakan sehat?

Media sosial memainkan peran besar dalam kehidupan manusia di era modern, dan banyak hal positif yang bisa didapat.

Selain itu, media sosial dapat menjadi sarana kita untuk terhubung dengan orang-orang yang jarang kita temui.

Akan tetapi, kita juga tahu media sosial bisa memicu depresi, kesepian, kecemasan, dan harga diri yang rendah.

Menurut studi yang diterbitkan di guilfordjournals.com, membatasi penggunaan media sosial hingga 30 menit sehari dapat memperbaiki kesehatan mental dan kesejahteraan.

Partisipan dalam studi tersebut melaporkan adanya penurunan depresi dan kesepian di saat mereka membatasi waktu berselancar di media sosial.

Masalahnya, ada banyak perbandingan yang terjadi di platform media sosial. Bagi beberapa orang, melihat caption atau unggahan foto tertentu bisa membuat mereka sedih.

"Media sosial menarik perhatian kita," kata Ehrman.

"Kita menilai, membandingkan, dan membayangkan apa yang kita lihat secara online, jadi kita tidak sepenuhnya menjalani hidup."

"Kita terjebak di dunia virtual yang tidak sama seperti apa yang terlihat," tambah dia.

Manfaat membatasi media sosial tidak langsung terlihat dalam semalam.

Dari studi yang diterbitkan di guilfordjournals.com, terungkap bahwa seseorang butuh waktu sekitar tiga minggu untuk mendapat keuntungan dari mengurangi paparan media sosial.

Kita tidak harus benar-benar berhenti bermain media sosial, tapi melakukan rehat atau detoksifikasi media sosial sementara waktu bisa jadi pertimbangan.

Baca juga: 13 Hal yang akan Terjadi Ketika Tak Ada Media Sosial

2. Detoksifikasi media sosial

Detoksifikasi media sosial pada dasarnya adalah berhenti sejenak dari media sosial.

Tentukan berapa lama kita membatasi akses media sosial, dan platform apa saja yang harus kita batasi.

Kita bisa mengumumkannya di media sosial supaya teman atau kerabat kita mengetahuinya.

Jika enggan melakukan hal tersebut, kita dapat langsung berhenti mengakses media sosial.

Detoksifikasi media sosial bisa berbagai macam, seperti menghapus salah satu aplikasi atau berhenti mengikuti akun yang membuat kita mempertanyakan harga diri kita.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com