Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Sehat Dulu Baru Cari Uang atau Cari Uang Buat Sehat?

Kompas.com - 02/12/2020, 09:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

 

Tidak banyak orang menyadari, bahwa orang tua yang terpapar edukasi adalah mereka yang mampu memilih bahan pangan yang baik, meracik dengan benar, dan mengolah dengan cara yang sehat.

Bukan memilih daftar menu jasa layanan antar atau tinggal memanaskan produk ajaib yang katanya tinggi protein dan serat.

Sudah waktunya Indonesia belajar dari negara-negara lain yang sempat mengalami jatuh bangun menata pola konsumsi rakyatnya dan harga mahal yang harus dibayar, saat murid SD mengira saus tomat adalah kategori sayur (karena ngotot ada kata ‘tomat’nya).

Begitu pula ketika kita mendorong masyarakat meningkatkan asupan sayur dan buah, apabila tidak disertai pemahaman dan kontruksi cara berpikir yang masuk akal, maka konsumsi sayur dan buah akan menjadi kebiasaan mewah, karena hidup sehat diandaikan perlu berlangganan jus untuk proses ‘detoks’ atau menyisipkan aneka ‘superfood’ impor ke dalam blenderan.

Baca juga: Pembiaran Norma Anyar yang Makin Ambyar

Padahal, sayur dan buah sudah sempurna tercipta seperti apa adanya. Dan tidak ada kurikulum ‘manajemen detoks’ di program studi ilmu gizi maupun fakultas kedokteran di mana pun.

Mengondisikan masyarakat hidup sehat sehingga mereka bisa cari uang yang akan bermanfaat untuk kehidupan yang lebih baik (bukannya diboroskan lagi untuk ‘menambal’ tubuh yang didera penyakit akibat gaya hidup ngawur), ibaratnya seperti memulihkan seorang anak yang menderita infeksi cacing sebelum mengejar keterlambatan tumbuh kembangnya.

Merupakan tindakan sia-sia menjejali anak cacingan dengan segala sumber nutrisi, sementara parasitnya belum ditangani.

Alih-alih sang anak menjadi sehat, berbagai asupan pangan dan suplemennya justru menjadi penyubur koloni cacing dalam ususnya.

Pentahelix yang terdiri dari pemerintah, masyarakat, akademisi, media dan pelaku industri sebagai upaya penanggulangan masalah gizi belum menampilkan hasil signifikan yang secara nasional bisa dijadikan tolok ukur keberhasilan.

Pelibatan pelaku industri dan pebisnis terlalu sulit untuk benar-benar bisa disebut ‘bersih’ dari kepentingan, minimal dengan pencantuman logo, yang akhirnya menjadi iklan terselubung yang dengan mudah dikenali publik sebagai benang merah produk yang iklannya tanpa kendali mengalir, ketimbang edukasi sesungguhnya yang memberdayakan masyarakat dengan segala kekayaan lokalnya.

Sungguh, begitu banyak pekerjaan rumah yang masih menumpuk terbengkalai atau butuh revisi akibat lalai.

Perlu kerjasama yang tujuan satu-satunya demi kepentingan rakyat Indonesia. Mengendorkan nafsu mencari untung, ibaratnya memberi kesempatan orang lain menabung.

Sehingga, keluarga Indonesia menemukan otentisitas makna sehat sesungguhnya, bangga akan kearifan lokalnya, dengan demikian sehat dan berdaya bukan lagi mimpi.

Baca juga: Demi Kesehatan, Tingkatkan Kupasan dan Tinggalkan Kemasan

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com