Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dinda Lisna Amilia
Dosen

Dosen Ilmu Komunikasi di Universitas 17 Agustus 1945, Surabaya.

Cara Pikir Milenial dan Baby Boomers soal Tes Kehamilan

Kompas.com - 18/12/2020, 10:34 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEORANG kawan yang hamil di trimester pertama memutuskan untuk mengambil tes bernama NIPT (Non Invasive Prenatal Testing). Fungsinya, mengetahui potensi kelainan genetik pada janin. Kelainan seperti down syndrome, trisomy 18, hingga patau syndrome bisa terdeteksi dalam usia janin yang masih belia.

Karena melibatkan teknologi tinggi, harga tes ini terbilang mahal, di atas Rp 5 juta.

Nah, karena harganya yang relatif tidak bisa dijangkau oleh kalangan menengah Indonesia, kawan saya yang sedang hamil 8 minggu ini harus siap berkonfrontasi dengan suami, bahkan orang tuanya sendiri, yang tidak sepakat untuk mengambil tes tersebut.

Sebenarnya, suaminya akan lebih mudah dipersuasi bila orang tua kawan saya ini tidak secara frontal menyatakan ketidaksetujuannya. Ada perbedaan cara pandang antara kawan saya yang milenial dengan orang tuanya yang baby boomers.

Sebagai milenial, kawan saya punya keyakinan bahwa deteksi dini adalah penyelesaian untuk dia yang setiap hari bekerja di laboraturium dan terpapar bahan kimia.

Menurutnya, pekerjaannya berkontribusi memberikan faktor risiko lebih menghasilkan bayi dengan kelainan genetik.

Kalau pun kemungkinan terburuk hasilnya memang positif, dia bertekad akan menggugurkan kandungannya. Mumpung belum masuk tiga bulan. Dalam keyakinan agamanya, pantang menggugurkan kandungan terlebih setelah masuk trisemester kedua.

Kawan saya ini yakin ini adalah pilihannya sebagai individu utuh yang berhak memilih membesarkan anak yang normal.

Cara berpikir ini berbeda dengan orang tuanya yang menentang habis keputusan tersebut. Para baby boomers di Indonesia memegang teguh nilai keagamaan dan norma sosial. Dosa bisa menjadi salah satu pertimbangan untuk tidak menggugurkan kandungan.

Uang senilai nominal tes NIPT, dalam pandangan orang tua teman saya, bisa digunakan untuk kebutuhan sehari-hari.

Masyarakat berkonteks tinggi seperti Indonesia sangat yakin dengan konsep takdir yang harus dijalani. Ada banyak hal dalam hidup yang tidak bisa dikontrol. Itulah takdir manusia.

Sementara, milienail tidak berpikir demikian. Mereka tumbuh dan berkembang bersama dengan perkembangan teknologi yang begitu pesat. 

Teknologi dalam banyak hal menerabas keyakinan-keyakinan moral dan etika yang dipegang erat baby boomers.

Di era baby boomers, tidak ada teknologi yang bisa mendeteksi kelainan janin. Sehingga, kelahiran seorang bayi apapun bentuknya diyakini sebuah takdir.

Namun, hari ini kehadiran seorang bayi bisa dikontrol sejak dini. Lantas, kenapa harus diperdebatkan? Begitu milenial berpikir.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com