Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Belajar dari Vaksinasi BCG: Tak Ada Satu Jurus Jitu Buat Sehat

Kompas.com - 22/12/2020, 07:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Dunia sedang dilanda euforia vaksin penangkal virus corona yang selama setahun penuh telah memporakporandakan segala aspek kehidupan manusia.

Sebagian orang Indonesia menaruh harapan tinggi, mengandaikan vaksinasi masal pemulih ekonomi.

Istilah ‘new normal’ atau adaptasi gaya hidup baru, nampaknya sama sekali tidak mempan buat negri ini, dimana rakyatnya punya ambisi dan mobilitas yang sama-sama tinggi.

Baca juga: Protokol Kesehatan: Antara Jargon dan Guyon

Cara hidup yang sudah berurat akar, budaya, dan irama kerja membuat publik tak sanggup menahan diri untuk tidak keluar rumah, tidak berkerumun, bahkan tidak ngobrol di saat makan.

“Di rumah saja” memberi konotasi tidak produktif. Memberi jarak fisik diandaikan menjauhkan diri dari pertemanan. Kediaman rupanya tidak dianggap tempat aman, malah melahirkan kesuntukan dan kejenuhan.

Protokol kesehatan akhirnya kendur, karena dianggap tidak memberi perubahan signifikan. Kian hari jumlah pertambahan kasus baru bukannya menurun, malah semakin tinggi.

Awam tidak mau tahu dan tidak mau mengerti – apakah karena jumlah pengecekannya semakin banyak maka semakin tinggi kasus terdeteksi – atau memang penularannya semakin menggila.

Ketika di negara-negara lain terjadi istilah ‘gelombang’ laju meningkat dan meredanya kasus, di Indonesia tak ada seorang pun yang bisa menebak grafik seperti apa yang kita miliki secara epidemiologis.

Dan di tengah polemik pendapat pakar, wacana vaksinasi muncul. Pejabat negara bahkan dengan penuh optimisme menyatakan pemulihan ekonomi dan kehidupan menjadi mungkin dengan menyegerakan program vaksinasi masal. Di bawah label aman BPOM, tentu saja.

Baca juga: Pulih dari Pandemi: Saatnya Berubah atau Punah

 

Sembilan bulan deraan pandemi ini sebetulnya kesempatan emas bagi Indonesia untuk membuktikan promosi kesehatan – bukan hanya protokol kesehatan.

Entah ada yang sempat membuat studi atau tidak, bahwa mereka yang terdeteksi covid 19 tanpa gejala atau bergejala ringan adalah kelompok orang yang bisa jadi rata-rata mempunyai kebiasaan hidup dan pola makan lebih sehat, ketimbang para pasien yang harus dirawat bahkan masuk ICU.

Selama ini diandaikan mereka yang bergejala berat adalah pasien dengan penyakit penyerta, atau beban kerja berlebih, bahkan paparan virusnya tinggi.

Baca juga: Pembiaran Norma Anyar yang Makin Ambyar

Apabila kita hanya mengandalkan vaksinasi, maka bisa jadi Indonesia menjadi negeri ‘endemik’ Covid-19 di mana negara-negara lain sudah terbebas dari penyebaran masif virusnya, pandemi sudah dinyatakan usai, bahkan banyak negara tidak merasa harus mewajibkan vaksinasi.

Mari kita lihat kasus TBC. Salah satu penyakit yang disebut endemik di negri ini. Sekali pun vaksinasi BCG sudah jadi lini program vaksinasi dasar dan wajib sejak bayi baru lahir. Penularan TBC tidak usai-usai sejak saya lahir hingga kini.

Bahkan, Indonesia menempati peringkat ke dua di dunia sebagai negara dengan penyandang TBC terbanyak setelah India.

Di Indonesia, angka kematian tembus 67.000 per tahun dan pada 2018 sebanyak 845.000 orang Indonesia jatuh sakit akibat TBC.

Ini berarti 316 orang menderita TBC dari 100.000 penduduk. Bisa dibayangkan, dalam 1 kecamatan yang lumayan padat penduduknya, ada lebih dari 300 jiwa berpenyakit TBC yang siap saling menularkan. Bahkan kerap tidak memberi gejala khas.

Jangan salah, jika ditelusuri, mereka yang tertular TBC bukannya tidak pernah vaksinasi BCG. Sayangnya, rakyat kita tidak terpapar secara akademik sejak di usia sekolah, bahwa program imunisasi memberi efektivitas mengurangi risiko berbagai bentuk penyakit TBC sekitar 50% (TBC bukan hanya di paru, tapi juga kelenjar getah bening, tulang, selaput otak, dsb).

Tidak ada yang menyebut, bahwa vaksinasi membuat manusia 100% kebal terhadap penyakitnya. Apalagi jika vaksinasi diharapkan mampu memicu tubuh membuat antibodi.

Bagaimana dengan mereka yang daya tahan tubuhnya buruk? Bahkan menderita penyakit auto imun bertahun-tahun? Atau penyandang HIV? Atau anak-anak dengan gizi buruk ditambah hidup dalam kepungan asap rokok?

Mereka dengan gaya hidup yang salah dan pola makan amburadul, apalagi praktik sanitasi dan higiene buruk akan menjadikan vaksinasi semacam mimpi di siang hari bolong.

Hal ini sama seperti sebagian besar penderita penyakit kronik yang hanya mengandalkan minum obat atau suntik insulin, sementara ogah mengatur apa yang dimakan, malas bergerak dan menikmati hidup penuh stres tanpa mengulik rasa berdaya yang mestinya dimiliki setiap orang sebagai upaya bertahan hidup.

Baca juga: Dipaksa, Terpaksa, Lalu Bisa, Kemudian Biasa hingga Jadi Budaya

 

Ilustrasi vaksin Covid-19 yang sedang dikembangkan. SHUTTERSTOCK/PalSand Ilustrasi vaksin Covid-19 yang sedang dikembangkan.
Sembilan bulan telah berlalu, mestinya kita bisa membenahi kebersihan pasar, cara berinteraksi, imbangan jam kerja dan waktu istirahat, serta kembali ke fitrah makanan yang dibutuhkan tubuh – kalau benar-benar ingin sehat.

Sembilan bulan bukan waktu yang singkat, ibarat seorang ibu sedang memelihara kehidupan baru dalam rahimnya, saat di mana Tuhan bekerja sama dengan sang ibu, ketika alam sedang menenun kehidupan, manusia menciptakan ruang dan waktunya.

Waktu krusial di awal seribu hari pertama kehidupan manusia, yang berkontribusi terhadap nasib seorang anak akan menjadi stunting seumur hidup atau tidak.

Apabila sembilan bulan ini kita lalui hanya seperti lelucon, memainkan jargon bernama ‘protokol kesehatan’, bergulat hanya untuk bertahan hidup tapi menciptakan masalah baru, maka saat vaksin itu benar-benar ada: tubuh sudah terlanjur menggemuk selama PSBB’.

Baca juga: Bagaimana Kita Pasca Pandemi, Tergantung Kita Hari Ini

Semakin banyak kasus pra diabetes menjadi diabetes sungguhan, sampah plastik kian menggunung lebih parah akibat kemasan-kemasan serta sarung tangan yang salah fungsi – dan pembatasan plastik belanja benar-benar menjadi komedi.

Apakah vaksinasi akan efektif dalam situasi gagap seperti itu? Barangkali kita masih punya sedikit waktu lagi untuk memperbaiki diri. Sebelum menyesal menghabiskan uang dan peluang.

Cukup sudah vaksinasi BCG menjadi cermin bagaimana kita mengendalikan penularan dan kematian TBC.

Sama-sama ditularkan melalui droplet, sama-sama bisa merusak sekian banyak organ manusia, sama-sama bisa berakibat fatal, sama-sama bermasalah pada orang-orang yang mempunyai kekebalan tubuh buruk.

Jika kita masih sama-sama saja hidup seperti dulu, rasanya malu suatu hari nanti tanah air yang indah ini dikenal sebagai negri ‘endemik Covid-19’ – dan siapa pun yang mau masuk ke sini, harus mengantongi ‘paspor vaksinasi’. Sementara negara lain tidak. Aduh.

Baca juga: Covid-19: Ujian Kesehatan, Kesadaran, dan Kewarasan

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com