Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Menyoal Otonomi Moral Pelaksanaan Protokol Kesehatan

Kompas.com - 20/01/2021, 08:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Sangat mengenaskan melihat euforia vaksinasi yang mengikis habis etika perilaku, yang semestinya lebih bisa diandalkan karena setiap individu bisa memegang kontrol atas tindakannya.

Dalam masyarakat yang masih ‘menggantungkan nasib’ pada otoritas dan fasilitas proteksi dari luar dirinya, mustahil perubahan perilaku bisa terjadi.

Kebiasaan mengharapkan keajaiban, miskinnya aspek kognitif, semakin membuyarkan masa depan.

Dengan sangat gamblang orang-orang yang melepas masker dan larut dalam situasi sesaat (‘diajak makan dan foto bersama’) menunjukkan pemahaman nol besar tentang situasi penularan pada masa pandemi.

Baca juga: Protokol Kesehatan: Antara Jargon dan Guyon

Merupakan tanggung jawab pemerintah untuk sungguh-sungguh memastikan pengetahuan orang-orang yang dianggap corong perubahan. Sebab sekali mereka melakukan tindakan di luar ketentuan, maka blunder publik tak terelakkan.

Tidak akan mudah diluruskan, karena publik 2021 mengendalikan arus pro dan kontra. Sebab yang belum paham tidak akan mau menerima begitu saja keterangan resmi ‘apa yang seharusnya’ – tapi justru makin galak mempertanyakan – bahkan membuat teori sendiri.

Amatlah tidak bijak, apabila pemerintah membiarkan bola panas itu menggelinding dan membiarkan publik menentukan mana yang benar dan salah.

Publik Indonesia tidak bisa disamakan dengan publik negara-negara lain dengan tingkat literasi dan kedewasaan otonomi moral yang sudah lebih tinggi.

Pun di berbagai negara adidaya yang dianggap ‘sudah maju’, masih ada sebagian masyarakat yang hanya mengandalkan otak belakang – alias refleks pertahanan diri saja – ketimbang memberdayakan otak depan penentu tindakan arif dan bijak.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com