3. Emosional
Perkembangan emosi seorang remaja banyak diwarnai oleh gejolak karena di ini tugas perkembangannya adalah mencari identitas diri.
Menurut Nina, pernikahan dini sangat menghambat seseorang yang sedang mencari identitas diri. Apalagi, jika pernikahan tersebut mengandung kekerasan.
"Hal itu sangat tidak sehat bagi perkembangan identitasnya. Dia bisa menjadi seorang perempuan yang tidak tahu tujuan, hanya ikut-ikutan saja," jelasnya.
Di fase ini, para remaja juga memiliki emosi yang labil. Sehingga, ketika anak-anak menikah di usia di bawah 19 tahun itu rentan sekali bertengkar.
"Kalau pasangannya juga sama-sama masih muda, akan lebih kacau lagi pernikahannya," ujar Nina.
Baca juga: Lihat, Perceraian Berdampak Buruk bagi Kesehatan Fisik dan Mental
4. Sosial
Sebagian besar sekolah di Indonesia tidak mengizinkan muridnya mengenyam pendidikan dengan kondisi hamil atau sudah menikah.
Akibatnya, anak-anak yang menikah di usia sekolah memang lebih berisiko untuk mengalami putus pendidikan.
"Ketika mengalami putus pendidikan, dia cenderung tidak memiliki pergaulan. Dia dan teman-temannya jadi berbeda obrolannya," kata dia lagi.
Tidak memiliki teman di fase pertumbuhan dapat memberikan tekanan bagi individu. Jadi, jelas sekali bahwa menikah di usia terlalu muda itu sangat tidak menguntungkan.
Anak-anak akan kehilangan teman dan tumbuh menjadi seseorang yang cenderung minder terhadap lingkungannya.
"Oleh sebab itu, pernikahan hanya menguntungkan ketika orang yang akan menikah sudah siap dan matang secara fisik maupun mental," imbuh dia.
Baca juga: Pahami, Sederet Risiko Menikah pada Usia Anak-anak
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.