Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Indra Darmawan, "Sarjana Pemulung" yang Raih Kalpataru

Kompas.com - 15/02/2021, 15:40 WIB
Reni Susanti,
Glori K. Wadrianto

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Indra Darmawan ingat betul bagaimana krisis moneter yang menghantam Indonesia pada 1998 lalu, memengaruhi kehidupannya.

Saat itu, Indra baru lulus dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung.

Mencari pekerjaan bukan hal mudah saat itu. Apalagi rumah Indra yang berada di Kabupaten Bandung Barat jauh dari kota.

Balasan surat lamaran Indra yang dikirim via pos, baru sampai 2-3 bulan kemudian. Bisa jadi, saat surat balasan sampai di tangan Indra, lowongan tersebut sudah terisi.

Baca juga: Kerajinan Tangan Indonesia Sulit Bersaing di Pentas Dunia, Kenapa?

Di sisi lain, Indra melihat kerusakan lingkungan di daerahnya yang berada di aliran Sungai Citarum.

Apalagi, setelah sungai itu dibendung menjadi Waduk Saguling. Masalah sampah, eceng gondok, hingga perubahan struktur masyarakat terjadi di sana.

Jika awalnya warga di sana bertani di lahan sendiri, mereka lalu menjual lahan, dan menjadi transmigran.

Begitu pulang ke kampung halaman, mereka cuma menjadi buruh tani, karena lahannya sudah habis dijual.

"Bahkan, ada yang akhirnya menjadi tukang becak," kenang lelaki berusia 48 tahun itu.

Pergolakan batin pun terjadi. Indra bertanya pada diri sendiri bagaimana tanggung jawabnya pada lingkungan sekitar.

Dia akhirnya nekat mengambil keputusan ekstrem, dengan menjadi pemulung sampah di Saguling dan pinggir aliran Sungai Citarum.

Karena tak memiliki perahu, ia memulai usahanya dengan mengambil sampah dari pinggir sungai.

“Keputusan saya ditentang oleh ibu. Bisa dibilang saya mengecewakan ibu, beliau sampai menangis, masa sarjana jadi pemulung,” ungkap Indra.

Baca juga: Dapat Cemari Lingkungan, Ini Tips Aman Buang Masker

Namun perlahan Indra memberikan pengertian kepada sang ibu.

Ia mengatakan, jika menjadi pekerja, yang merasakan manfaat hanya keluarga. Tapi jika mengabdikan pada masyarakat, yang merasakan manfaatnya banyak orang.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com