Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Mungkinkah Sudah Waktunya Reset Mindset Kita?

Kompas.com - 03/03/2021, 07:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

 

Pandemi mestinya saat semua orang ikhlas berbenah diri. Jika gengsi memakai istilah ‘lock down’, marilah kita membatasi cara bersosialisasi.

Geliat ekonomi tidak perlu ditandai dengan pasar buka sampai pagi, tapi seret jual beli. Rakyat kita toh sejak belia sudah fasih mengutak-atik gawai, ketimbang hanya untuk rekreasi sarat sensasi, kenapa tidak selangkah lebih maju untuk orangtuanya berwiraswasta?

Dibutuhkan pemikiran inovatif untuk mengangkat pedagang pasar yang tadinya menggelar jualan, kali ini mereka dididik menata lapak virtual.

Pemerintah daerah yang kalah berinovasi dalam pendampingan berbagai sektor dinamika masyarakat akhirnya akan kewalahan menghadapi situasi hidup yang membutuhkan perubahan di sana-sini. Mulai dari urusan lahan ekonomi hingga edukasi.

Baca juga: Sehat Dulu Baru Cari Uang atau Cari Uang Buat Sehat?

Betapa repotnya gawai yang tadinya hanya sebatas alat komunikasi dan ‘menonton sensasi’ tiba-tiba harus dipakai di sarana edukasi.

Saya melihat ini justru sebagai peluang meluruskan kembali fungsi gawai. Istilah ‘smart phone’ tidak mengandaikan alatnya yang pintar tapi pemakainya tidak. Gawai pintar hanya berfungsi optimal di tangan pengguna cerdas.

Sayangnya, peluang ini hanya ditangkap oleh para pelaku industri dan perdagangan besar yang biasa gesit menangkap pasar.

Alhasil penjualan susu dan makanan kemasan meroket, dengan sasaran ibu-ibu dan komunitas muda yang buta gizi sesungguhnya.

Iklan semakin meliar baik di media elektronik maupun menyusup ke media sosial. Bahkan, sudah tidak ada etikanya lagi.

Anak di bawah umur pun dipakai sebagai bintang iklan produk yang tidak semestinya dikonsumsi anak.

Komisi etik periklanan seakan-akan hilang entah kemana. Atau lebih tepatnya, kalah gesit dengan yang dagangannya sedang melejit.

Jika kita sibuk memerangi virusnya tanpa memperhatikan perubahan apa saja yang menjadi imbas pandemi, maka sekali lagi kita akan kehilangan peluang emas untuk menata pranata kehidupan.

Peluang itu justru diambil oleh pihak-pihak oportunis meraup keuntungan manis dari situasi tragis. Yang gulung tikar justru mereka yang tidak inovatif dan masih bergantung (serta berharap) pada ‘business as usual’.

Sebut saja para pemilik warteg. Sejak awal pandemi, saya sudah ‘berisik’ merekomendasikan warteg sebagai penyelamat kebingungan di saat isolasi mandiri.

Apabila negri ini memang mempraktikkan kesetiakawanan sosial yang sesungguhnya, bukan sekadar momen seremonial, maka ketimbang membiarkan masyarakat menikmati kucuran bansos tanpa kerja, kebutuhan isi perut bisa diatur dengan sekaligus memberdayakan ekonomi lokal dalam skala mikro.

Sebagai kelanjutan, menggiring usaha mikro di saat yang sama bisa tersertifikasi tanpa membelit mereka dengan segudang aturan sana sini. Alhasil warteg kita ‘naik kelas’. Terpantau kualitasnya, terjaga keamanan pangannya.

Baca juga: Mengapa Diet Gagal dan Usaha Jaga Makan Berantakan?

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com